Minggu, 26 April 2009

2012, Bakal Terjadi Badai Matahari

Bencana besar akan terjadi. Badai matahari akan menerpa bumi dalam waktu dekat. Saat badai menerpa, semua peralatan elektrik bisa rusak dan manusia kembali ke zaman kegelapan. Laporan New Scientist edisi terbaru menyebut, ancaman itu bukan skenario ilmiah satu banding sejuta. Tapi ancaman itu sangat nyata, dan akan terjadi pada September 2012. Badai matahari dahsyat pernah terjadi pada pagi 1 September 1859.
Astronomer Inggris terkenal Richard Carrington yang sedang mengamati matahari, mendapati permukaan matahari terjadi suatu hal yang tidak biasa. Cahaya terang keluar dari permukaan matahari. Cahaya itu membentuk gumpalan besar saat menuju bumi. Hanya dalam tempo 48 jam kemudian mulai menerpa dan efeknya luar biasa.
Sebelum mencapai bumi, aurora terang muncul di langit malam. Saking terangnya, orang bisa membaca koran saat tengah malam. Di California sekelompok penambang bangun dari tidur, mengira hari sudah jajar. Padahal waktu itu baru jam 2 pagi.
Operator telegrap terkena sengatan lisrik, saat badai matahari menghantam.
Bumi layaknya dibasuh medan listrik sangat besar. Tapi pemulihan di zaman itu berlangsung sangat cepat.
Pada 1859, peralatan yang ada hanyalah mesin uap dan tenaga otot. Tapi di zaman modern sekarang, kehidupan semuanya ditopang oleh listrik. Padahal badai matahari bisa menyebabkan lonjatan tenaga lisrik hingga miliaran watt.
Yang lebih berbahaya transformer yang mengubah listrik ribuah volt menjadi 220v untuk rumah tangga akan meledak. Ribuan transformer akan rusak di semua negara.
Tanpa listrik, dunia bisa mengalami masa kegelapan. Pasokan air bersih yang menggunakan listrik akan berhenti. Komunikasi global akan rusak. Badai matahari juga bisa merusak jaringan GPS satelit yang semua penerbangan tergantung padanya.
Saat badai itu menuju bumi, akan diawali aurora paling spektakular. Namun dalam beberapa waktu kemudian, cahaya akan mencapai daratan dan listrik mulai padam. Selanjutnya semua jaringan telepon dan internet akan padam. Begitu juga TV terestrial dan satelit hilang sinyal.
Jadi apakah badai matahari benar bisa terjadi, dan mengapa kita perlu khawatir pada 2012? Pertama badai matahari pernah terjadi pada 1859. Pada 20 tahun lalu badai sangat kecil pernah merontokkan pembangkit litrik di timur laut Kanada dan membuat jutaan orang tanpa listrik. Selain itu ilmuwan menghitung naik turun aktifitas matahari terjadi selama tenggang 11 tahun.
Saat ini matahari memang sedang tenang. Namun solar maximum atau puncak aktifitas, diprediksikan akan terjadi pada 2012. Badai super besar kemungkinan bisa menyerang pada musim gugur, karena orientasi medan magnet bumi terhadap matahari membuat sangat berbahaya.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya? Pembangkit listrik cadangan harus disiapkan. Selain itu satelit baru juga harus diluncurkan untuk mengamati apa yang terjadi di matahari.
Tapi mungkin saja, badai matahari tidak terjadi pada 2012. Tapi pada 2023 akan kembali rawan karena daur solar maximum kembali terulang. Cepat atau lambat, badai itu pasti akan terjadi. Mungkin kita harus menyiapkan lilin, jika listrik pada akhirnya untuk sementara tidak tersedia. (*)
.

Readmore »»

Sabtu, 25 April 2009

America's Most Dangerous Cities



In March 2008, Kwame Kilpatrick was charged with eight felonies, including perjury and obstruction of justice. In August, he violated his bail agreement and was thrown in jail. His actions were deplorable for anybody, but Kilpatrick was no Average Joe--he was the mayor of Detroit. Unfortunately for the Motor City, Kilpatrick, 38, is just one ripple in the area's sea of crime. Detroit is the worst offender on our list of America's most dangerous cities, thanks to a staggering rate of 1,220 violent crimes committed per 100,000 people.

"Detroit has, historically, been one of the more violent cities in the U.S.," says Megan Wolfram, an analyst at iJet Intelligent Risk Systems, a Maryland-based risk-assessment firm. "They have a number of local crime syndicates there--a number of small gangs who tend to compete over territory."

Detroit was followed closely on the list by the greater Memphis, Tenn., and Miami, Fla., metropolitan areas. Those three were the only large cities in America with more than 950 violent crimes committed per 100,000 people.

Behind the Numbers

To determine our list, we used violent crime statistics from the FBI's latest uniform crime report, issued in 2008. The violent crime category is composed of four offenses: murder and non-negligent manslaughter, forcible rape, robbery and aggravated assault. We evaluated U.S. metropolitan statistical areas--geographic entities defined by the U.S. Office of Management and Budget for use by federal agencies in collecting, tabulating and publishing federal statistics--with more than 500,000 residents.
Though nationwide crime was down 3.5% year over year in the first six months of 2008, the cities atop our list illustrate a disturbing trend: All 10 of the most dangerous cities were among those identified by the Department of Justice as transit points for Mexican drug cartels.

Run by crime lords like Joaquin Guzman Lorea, these gangs--and their violent turf wars--are spreading into the American Southwest and beyond. Places like Stockton, Calif., nearly 500 miles from Tijuana, have seen an uptick in related violent crime.

"Stockton is a major transit point along the I-5 corridor on the way to Seattle and Vancouver," says Wolfram. "A lot of it is similar to crime happening in the Southwest. For the most part, it's drug gang on drug gang."

Motown Blues

The situation in Mexico has escalated in recent years, but Detroit has been dealing with the same problems for decades. An industrial boomtown during the first half of the 20th century, the population of Detroit proper swelled from 285,000 in 1900 to 990,000 in 1920, reaching a peak of 1.8 million in 1950.

Only half that number still lives within city limits. Starting in the 1960s, Detroit began a precipitous decline. Most scholars blame rapid suburbanization, outsourcing of manufacturing jobs, and federal programs they say exacerbated the situation by creating a culture of joblessness and dependency. Residents fled to the suburbs and to other regions of the country entirely, leaving behind a landscape littered with abandoned buildings.

"Factories that once provided tens of thousands of jobs now stand as hollow shells, windows broken, mute testimony to a lost industrial past," wrote Thomas J. Sugrue in his book The Origins of the Urban Crisis. "Whole sections of the city are eerily apocalyptic."

Detroit isn't the only city on the list that's suffering from abandonment issues.

In Las Vegas, Nev., for example, the housing boom created loads of excess inventory. When the market tanked, homeowners suddenly found themselves with properties worth far less than the mortgages they'd taken out. In the worst cases, banks foreclosed, leaving people without homes--and with more debt than they'd had to begin with. As a result, Sin City is even emptier than Detroit.

"Detroit has trouble showing improvement in its crime rate because dedicated, desperately needed and appropriate resources are not invested in public safety. Painfully, it is not a priority," says Wayne County Prosecuting Attorney Kym L. Worthy. "I wish that those with the resources would view domestic terrorism like they do terrorism across the water. It used to be that we were keeping our head above water and treading quickly. Now we are drowning, and no one seems to really care. All they tell me to do is cut some more."

Few Signs of Improvement

Making matters more difficult, as municipal budgets shrink during this recession, crime-fighting funds are often among the first casualties.

"There's less public spending during downturns," says Wolfram. "Police departments and incarcerations systems are tough to fund."

The news has been bad for decades, but there may yet be hope for Detroit. The city's new mayor, Kenneth V. Cockrel Jr., assumed office on Sept. 19, 2009--and hasn't committed a single felony.

Top 5 Most Dangerous Cities:

No. 1 Detroit, Mich.

(Detroit-Livonia-Dearborn, Mich., metropolitan statistical area)

Population: 1,951,186

Violent Crimes per 100,000: 1,220

No. 2 Memphis, Tenn.

(Memphis, Tenn.-Miss.-Ark. metropolitan statistical area)

Population: 1,295,670

Violent Crimes per 100,000: 1,218

No. 3. Miami, Fla.

(Miami-Miami Beach-Kendall, Fla. metropolitan statistical area)

Population: 2,401,971

Violent Crimes per 100,000: 988

No. 4 Las Vegas, Nev.

(Las Vegas-Paradise, Nev., metropolitan statistical area)

Population: 1,834,533

Violent Crimes per 100,000: 887

No. 5 Stockton, Calif.

(Stockton, Calif., metropolitan statistical area)

Population: 684,406

Violent Crimes per 100,000: 885

To determine our list, we used violent crime statistics from the FBI's latest uniform crime report, issued in 2008. The violent crime category is composed of four offenses: murder and non-negligent manslaughter, forcible rape, robbery and aggravated assault. We evaluated U.S. metropolitan statistical areas--geographic entities defined by the U.S. Office of Management and Budget for use by federal agencies in collecting, tabulating and publishing federal statistics--with more than 500,000 residents. (Forbes.com)
.

Readmore »»

Koalisi Golkar Sebesar Apa

Keputusan Partai Golkar untuk mencalonkan Jusuf Kalla sebagai calon presiden memunculkan blok politik baru dalam kontestasi Pemilu Presiden 2009. Jusuf Kalla pun sesumbar bakal membuat koalisi besar. Pertemuan politik Jusuf Kalla pasca Rapat Pimpinan Nasional Khusus (Rapimnasus) kian intens. Setelah melakukan pertemuan dengan petinggai PDIP, Jumat (24/4) pagi JK bertemu dengan Ketua Umum DPP Partai Hanura, Wiranto, malam harinya Kalla bertemu dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.
Dalam pertemuan dengan Wiranto, JK menegaskan, pihaknya akan menggalang kekuatan koalisi besar untuk pembentukan pemerintahan efektif dan kuat. Menurut JK, koalisi dibangun dengan berbagai partai politik, agar terbangun kemajuan negeri lebih cepat. Jika dibandingkan dengan partai politik lainnya dalam melakukan manuver politik, Partai Golkar dan JK tergolong telat. Kondisi ini tidak terlepas dari ikhtiar Golkar dalam sepekan terakhir ini untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat namun tidak menemukan titik temu. Keputusan maju dalam pilpres, menjadikan Golkar kejar setoran menggalang kekuatan koalisi.
Setidaknya, saat ini telah terjadi blok politik yang mulai mengerucut. Blok Teuku Umar yang merupakan kediaman Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri telah terhimpun sedikitnya tiga partai politik yaitu PDIP, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. Meski, belum secara formal mendeklrasikan koalisi, ketiga partai tersebut intens melakukan pertemuan. Isu kecurangan pemilu, menjadi perekat ketiga partai politik ini.
Di blok lainnya, blok Cikeas. Partai Demokrat sebagai motor blok ini, secara resmi telah bersepakat dengan beberapa partai politik di level tengah seperti PKB dan PKS. Di level partai kecil terdapat PBB, PKPI dan Partai Patriot.
Pertanyaan besarnya, koalisi besar seperti apa yang akan dibangun Partai Golkar? Akankah Partai Golkar masuk dalam blok Teuku Umar? Banyak analis politik berpendapat, koalisi Partai Golkar dan PDIP sulit terbangun jika kedua partai tersebut masih bersikukuh untuk maju dalam pencapresan Juli mendatang.
Koalisi PDIP-Golkar akan terbentuk, jika kedua partai tersebut saling mengalah. Tergantung ada alternatif baru misalnya PDIP-Golkar menjadi king maker, artinya memilih pasangan capres-cawapres yang mereka pilih sendiri. Jika skenario ini disepakati, figur Sultan HB X dapat menjadi alternatif untuk diajukan sebagai capres dari PDIP-Partai Golkar.
Namun dari kalkulasi politik, kubu JK dan Partai Golkar berpeluang membuat blok sendiri alias tidak bergabung dengan kubu Teuku Umar maupun kubu Cikeas. Koalisi Golkar, PAN, dan PPP lebih terbuka.
Kondisi ini berpeluang muncul tidak terlepas internal PPP dan PAN. Gerakan Amien Rais yang mendorong Hatta Radjasa sebagai cawapres SBY membuat meradang Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir. Sedangkan di PPP, komunikasi Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali dengan JK selama ini cukup intens.
Kondisi seperti ini memungkinkan koalisi terbentuk. Soetrisno Bachir lebih nyaman dengan Golkar. Duet JK-SB menjadi simbol di koalisi ini.
Ikhtiar Partai Golkar untuk membentuk pemerintahan kuat dan efektif bukanlah mimpi di siang bolong. Dengan perolehan suara dalam Pemilu legislatif sebesar 14% lebih, menjadi modal penting dalam membentuk pemerintahan yang efektif. Kini, berbalik ke elite Golkar dalam membangun komunikasi politik dan membangun koalisi. (*)
.

Readmore »»

Kamis, 23 April 2009

Pilihan Untung Rugi JK

Koalisi segitiga emas (golden triangle) dan jembatan emas (golden bridge) tampaknya tak lama lagi akan kembali terealisasi. Perceraian SBY-JK membuka jalan baru bagi koalisi yang sudah lama didengungkan itu. Pekan-pekan ini, arah koalisi partai politik menjelang Pemilihan Presiden 2009 bakal terungkap semakin jelas. Pasalnya, di pekan-pekan ini pula, parpol bakal menggelar rapat khusus terkait hasil pemilu legislatif serta menentukan arah koalisi dalam Pilpres.

Partai Golkar, misalnya, akan menggelar rapat pimpinan nasional khusus (rapimnassus) pada 23-25 April. Partai Demokrat dan PKS menggelar rapat serupa pada 25-26 April. Sementara PDIP juga menggelar rapat kerja nasional pada 23 April ini. PPP dan PAN, akhir pekan ini, menggelar pula langkah serupa untuk memutuskan arah koalisi.
Namun, di detik-detik terakhir menjelang momentum penting partai politik peserta pemilu dalam menentukan arah koalisi, keputusan DPP Partai Golkar untuk pisah dengan Partai Demokrat seperti memecah arah koalisi parpol yang dalam beberapa hari terakhir mulai jelas. Sejauh ini, baru PKS, PKB, dan PBB yang sudah pasti menemani Demokrat.
Parpol yang belum menentukan sikap koalisi seperti PAN dan PPP tampaknya masih terganjal dalam menentukan arah koalisi. Kedua parpol mengalami perbedaan pandangan di internal partai. Di satu sisi menginginkan dengan kubu SBY, namun di sisi lain berkeinginan mengusung calon alternatif.
Terlebih, kedua pimpinan partai politik baik PPP dan PAN tersebut juga telah melakukan komunikasi politik dengan Ketau Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla. Apalagi, hingga kini PAN dan PPP juga belum menentukan sikap politiknya. Terbuka kemungkinan, dua parpol ini bakal merapat ke kubu Kalla, jika pecah kongsi Golkar-Demokrat berdampak munculnya blok baru.
PPP sendiri mengaku masih bingung menentukan pilihan politik: merapat ke Golkar atau Demokrat. Menurut Sekjen DPP PPP, Irgan Choirul Mahfiz, pihaknya masih bingung menentukan pilihan koalisi.
Peluang munculnya blok Jusuf Kalla atau Golkar cukup besar, sikap Partai Demokrat yang menggantung Jusuf Kalla dan Partai Golkar akan memunculkan blok baru.
Sikap Demokrat yang terkesan jual mahal terhadap JK dan Golkar merupakan kunci munculnya poros ketiga, yakni JK sebagai capres. Namun pecah kongsi SBY-JK tidak berarti memuluskan langkah koalisi golden triangle. Dalam rapat DPP, kabarnya Partai Golkar masih membuka diri untuk berkomunikasi dengan Partai Demokrat.
Kendati demikian, langkah Golkar untuk cerai dengan Partai Demokrat jauh lebih terhormat daripada menjadi pecundang dengan maju dalam Pilpres 8 Juli mendatang. Jauh lebih terhormat menjadi pejuang bermartabat daripada menjadi pecundang.
Kemungkinan politik pasca Golkar-Demokrat cerai sangat terbuka terjadi. Seperti Partai Golkar koalisi dengan PDIP dan meneguhkan koalisi golden triangle bersama Hanura dan Partai Gerindra. Atau lebih dari itu, Partai Golkar menjadi blok baru dalam mengusung calon presiden, sebagaimana wacana yang telah bergulir sebelum Pemilu 9 April lalu.
Politik memang bukan matematika tapi politik tetap ada hitung-hitungannya seperti matematika, yang pasti politik itu adalah dagang karena di situ ada untung dan rugi. Hitung-hitungan untung rugi inilah yang melandasi sebuah keputusan partai politik. Kita lihat saja nanti! (*)
.

Readmore »»

Rabu, 22 April 2009

Demokrat Arogan, JK Harus Nyapres

Kemenangan Partai Demokrat dalam pemilu legislatif membuat parpol pendukung SBY itu merasa di atas angin. Arogansi politik itu kini membuat Partai Golkar kecewa. Partai beringin itu pun bisa terpicu untuk membulatkan tekadnya mengajukan capres sendiri.
Sikap Demokrat yang terkesan jual mahal terhadap JK dan Golkar merupakan kunci munculnya poros ketiga, yakni JK sebagai capres, selain yang sudah pasti SBY dan Megawati dari PDI-P. Koalisi parpol pengusung capres-cawapres semakin mengerucut. Melihat perkembangan politik terakhir, hampir dapat dipastikan kontestan capres-cawapres mengerucut menjadi 2 atau maksimal 3.
Kontestan pertama adalah koalisi Partai Demokrat pengusung SBY sebagai capres. Kontestan kedua adalah koalisi parpol yang mendukung Megawati. Kontestan ketiga adalah tekanan kuat arus bawah Golkar yang menghendaki JK sebagai capres.
Jika Golkar keluar dari koalisi Demokrat, maka peluang PKS, PKB, PAN, PBB untuk ikut berkoalisi sangat besar. Jika koalisi ini terjadi, maka peluang tokoh di luar parpol peserta koalisi sangat besar untuk mendampingi SBY sebagai cawapres.
Parpol peserta koalisi pasti akan menolak jika salah satu kader parpol yang dipinang SBY. Apalagi PKS belum siap jika kadernya sebagai capres atau cawapres pada Pilpres 2009. Target mereka justru Pemilu 2014.
Bukan tidak mungkin tokoh seperti Jimly Asshiddiqie, Salahuddin Wahid, Sri Mulyani, dan Siti Fadilah Supari akan dilirik SBY. Sebab syarat-syarat yang disebutkan SBY sebagai pendampingnya ada pada mereka. Dan nama-nama tersebut lebih bisa diterima koalisi parpol pendukung SBY ketimbang nama-nama lain.
Yang menarik dari tarik ulur PD dan Golkar ini adalah arogansi PD yang merasa sudah menjadi partai besar. Padahal sebagai partai yang tergolong baru, PD sebenarnya hanya mengandalkan sosok SBY. Hasil yang mereka dapatkan selama ini tidak lebih dari popularitas SBY sebagai presiden, bukannya kerja dari kader-kader PD sendiri. Dari sini PD mungkin salah perhitungan karena kekuatan mereka di Parlemen sebenarnya tidak terlalu dominan karena selisih anggota di DPR RI nanti mungkin hanya 10 orang, jadi jangan anggap enteng kepiawaian orang-orang Golkar di parlemen.
Hasil sementara penghitungan perolehan suara nasional Pemilu 2009 oleh tabulasi KPU menunjukkan selisih antara Partai Golkar dan PD memang tidak cukup signifikan. Golkar duduk di peringkat dua dengan 14,6 persen dan PD meraih 20,6 persen dengan sekitar hanya 800 ribu suara. (*)

Readmore »»

Selasa, 21 April 2009

Amien Rais Tak Mau Cawe-Cawe

Konsisten dengan isu regenerasi, Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN Amien Rais menolak dicalonkan sebagai pendamping Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Usulan tersebut muncul dari 27 pengurus wilayah PAN saat berkumpul di rumah Amien di Sleman, Yogyakarta, kemarin. Mereka menilai PAN masih berpeluang mengajukan cawapres, sehingga merasa perlu mempersiapkan nama yang akan disodorkan kepada partner koalisi.
Dengan halus Amien menolak keinginan para kadernya. Dia tahu diri usianya sudah uzur, sudah 65 tahun. Amien juga melihat sudah saatnya ada regenerasi di pentas politik nasional pada umumnya dan ditubuh PAN pada khususnya.
Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu mengaku hanya ingin menjadi orang di belakang layar yang memberi dorongan moral. Bagi Amien, tidak lucu apabila dia ikut cawe-cawe (ikut-ikutan) lagi dalam perhelatan Pemilihan Presiden 2009.Ketua Sementara itu sebagai Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN Amien Rais membantah pertemuan yang digalangnya di Jogja telah menimbulkan konflik internal partainya. Bahkan, Amien juga membantah apa yang dilakukannya menyalahi aturan meski dalam pertemuan tersebut tidak dihadiri Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir.

Menurut Amien, pertemuan di rumahnya Sleman, Yogyakarta, tersebut sudah sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai. Karena itu, kata dia, apa yang dilakukannya bukanlah mendahului keputusan DPP PAN.

"MPP boleh (melakukan pertemuan dan mengundang pengurus PAN) kapan saja. Menurut anggaran dasar, Ketua MPP boleh mengundang pengurus eksekutif partai mulai dari DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) sampai DPP kapan saja untuk keperluan apa saja," kata Amien Rais disela-sela acara silaturahmi Islam untuk Kebangkitan Indonesia, di Jakarta, Senin (20/4/2009).

Dalam kesempatan itu, Amien menyatakan bahwa Pilpres nanti kans besar hanya dimiliki oleh dua kekuatan yakni kubunya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan kubunya Megawati Soekarnoputri. Namun, kata dia, peluang besar hanya dimiliki oleh SBY. Dia juga mengakui dalam pertemuan di kediamannya dirinya mengarahkan agar pengurus wilayah mendukung Partai Demokrat.

"Saya kemarin itu meng-endorse PAN yang hanya enam koma sekian persen itu jadi mitra junior, bukan mitra senior Partai Demokrat," ujarnya.

Hal itu, kata dia, karena dirinya dan para pengurus wilayah PAN mengakui bahwa yang berpeluang besar untuk maju lagi sebagai calon presiden adalah SBY.

"Kami di sana itu mengutak-atik dan menganalisa keadaan kami (PAN). Sejauh ini, memang yang hampir pasti jadi capres kembali itu memang Pak Yudhoyono. Peluang besar kemenangan Pilpres pada Juli nanti itu memang dari segi rasional, dari segi politik, itu ada di Pak Yudhoyono," tandasnya. (*)

Readmore »»

Sabtu, 18 April 2009

Partai Persatuan Pembangunan yang Mulai Tidak Bersatu

Hasil Pileg 2009 yang secara umum sudah diketahui, membuat beberapa partai lama harus bersikap yang pasti bagi partai yang nantinya tidak mendapat kursi di DPR RI ancang-ancang cari pemasukan dengan berkoalisi untuk mendukung capres tertentu. Sementara bagi partai yang mendapat kursi di DPR RI juga mulai bermanuver untuk mendukung salah satu capres yang tujuannya pasti ingin minta jatah kursi di kabinet.
Seperti yang dilakukan Partai Persatuan Pembangungan (PPP) perolehan hasil Pileg 2009 yang tidak signifikan, tentu membuat para petinggi partai harus cari selamat. Perolehan suara yang anjlok dibandingkan pemilu 2004 lalu, membuat internal PPP goyah. Para elit lebih memilih bermanuver sendiri-sendiri dibanding fokus penyeselaian masalah suara yang merosot. Keributan partai berlambang Kabah, tidak bisa dihindari.
Sebetulnya ini terkait arah koalisi Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dengan Sekjen PPP Irgan Chairul Mahfiz yang berbeda. Sebelumnya, salah satu Ketua DPP PPP Emron Pangkapi menyatakan Ketua MPP PPP Bachtiar Chamsyah telah mengembosi suara PPP karena tidak mau ikut kampanye. Akibat pernyataan itu, Wasekjen DPP PPP Lukman Hakim Hasibuan secara pribadi akan mengugat Emron atas dugaan pencemaran nama baik.
Tidak hanya itu, Sekjen PPP Irgan Chairul Mahfidz menyakini Golden Triangle (PPP, PDIP, dan Partai Golkar) tidak akan berlanjut. Mengenai manuver Ketua Umum PPP Suryadharma Ali yang menggelar pertemuan dengan 'lawan-lawan' SBY, Irgan menganggap pertemuan itu hanya silaturahmi. Arah koalisi PPP diyakininya lebih mendukung SBY kembali sebagai capres.
Organisasi pemuda PPP, Gerakan Pemuda Kabah, menduduki kantor DPP PPP (17/4) untuk melancarkan protes atas kinerja PPP yang dinilai menurun. Desakan diadakan Muktamar Luar Biasa untuk pergantian ketua umum partai, bergulir.
Ini adalah cacat atau aib partai. Seharusnya PPP mencegah jangan sampai begitu terlihat ke publik. Ini bisa berdampak buruk bagi PPP ke depan. Jangan sampai ada MLB. Kalau tidak bisa diselesaikan PPP bisa hancur. Apa yang diinginkan Gerakan Pemudah Kabah memang tidak ada salahnya, bila merujuk seperti klub sepakbola di mana bila timnya gagal maka pilihannya mengganti pelatih atau manajemen klub?, apa yang terjadi di sebuah partai politik di Indonesia hal itu bisa saja terjadi.
Bila partai politik gagal bertarung di pemilu, tentu harus ada evaluasi. Ketua diganti atau cari pemain baru, dan yang kedua itu memang tidak mungkin. (*)
.

Readmore »»

Jangan Beli Netbook Dulu!

Penjualan laptop mini ringan atau biasa disebut netbook, memang tumbuh pesat. Vendor PC masih bisa bernafas lega karena netbook mampu mendongkrak penjualan. Tapi apakah perangkat kecil ini layak dibeli? Jawabannya jangan sekarang!
Profesional TI mengatakan netbook masih belum matang, terutama untuk kebutuhan korporasi. Dari segi baterai yang lebih lama, konektifitas internet serta harga yang miring, netbook memang menggoda.
Namun dampak negatif produk ini lebih besar dibandingkan positif, jika digunakan sebagai perangkat utama. Tapi sayangnya, Microsoft dan Intel dinilai para analis akan bersengkongkol agar spesifikasi netbook tidak naik.
Windows XP milik Microsoft, didukung prosesor rendah daya Intel Atom saat ini digunakan hampir semua netbook. Dua perusahaan ini berkepentingan agar netbook tetap kecil dan murah, supaya tidak menggerogoti pasar laptop konvensional yang lebih besar dan lebih menguntungkan.
Saat ini profesional TI bersikap menunggu. Mereka menunggu vendor meningkatkan spesifikasi dengan layar lebih besar, port lebih banyak, serta chip lebih cepat. Jika kondisisnya seperti itu, baru bisa diterima konsumen korporasi asalkan dengan harga lebih murah dibandingkan produk lebih mahal sekaligus pesaingnya yaitu laptop.
Karena tidak ada fitur enkripsi membuat netbook masih dianggap sebagai produk kedua. Stephen Laughlin, Director IT di Academy of Television Arts & Sciences, menentang keras penggunaan netbook untuk korporasi.
“Kami mengijinkan beberapa user menggunakan netbook setelah memiliki kekuatan komputasi yang lebih besar, CPU lebih cepat, hardisk lebih besar, keyboard lebih besar serta layar juga lebih besar,” katanya. Laughlin menekankan karyawan enterprise membutuhkan komputer yang bisa diandalkan dan tenaganya cukup. Memilih netbook murah untuk penghematan bukan sesuatu yang tepat, karena fungsi perangkat itu hanya sebagai mesin kedua.
Michael Boyer, VP global IT Fiberlink sependapat, membeli netbook sebagai produk kedua tidak memecahkan masalah penghematan biaya. Karena netbook tidak didesain untuk memenuhi kebutuhan itu.
"Yang perlu diwaspadai, netbook kemampuannya lebih rendah dari laptop," kata Boyer. "Lebih baik membeli jika sudah yakin netbook bisa menjadi perangkat utama. Penghematan biaya tidak akan tercapai jika hanya sebagai perangkat kedua,” katanya.
Sedangkan Chris Rapp, Assistant VP Technology di Sovereign Bank, melihat netbook memiliki masalah besar yakni performa dan keamanannya. Karenanya, Sovereign Bank tidak berencana membeli netbook, karena kecepatan prosesornya kurang. Selain itu port serta RAM tidak mampu memenuhi kerja aplikasi yang dibutuhkan pada saat ini.
“Karena Sovereign merupakan institusi finansial yang sangat dekat dengan hukum, netbook tidak bisa digunakan karena tidak terinkripsi dengan baik,” tambahnya. Rapp memperkirakan netbook yang terinskripsi penuh akan mahal dan tidak akan semurah sekarang.
Ia mengatakan, netbook memang cocok untuk karyawan yang sering travelling. Ukurannya yang kecil memberikan nilai plus. Namun ukuran kecil juga mudah hilang. “Jika ada fitur untuk mengunci netbook saat hilang atau dicuri itu akan membantu mengurangi masalah keamanan,” imbuhnya. (inilah.com)
.

Readmore »»

Kamis, 16 April 2009

Trio Inggris, Dominasi Kekuatan Sepakbola Inggris yang Semu

by. rahmat adhy kurniawan

Liga Inggris kembali menunjukkan kedigdayaan mereka di kancah Eropa, tiga wakil Inggris lolos ke semifinal, sama dengan prestasi tahun lalu. Hebatnya ini adalah kali ketiga berturut-turut trio Inggris lolos ke final. Dua musim lalu ManYoo, Chelsea, Liverpool mengeroyok AC Milan, kemudian musim lalu giliran Barcelona dikeroyok ManYoo, Chelsea, dan Liverpool, dan sekarang kembali Barcelona dikeroyok, ManYoo, Chelsea dan Arsenal.
Yang jadi pertanyaan mampukah Inggris menjadi jawara yang sesungguhnya seperti musim lalu dengan menempatkan All England's Final? Kemudian ManYoo sukses menjadi pemenang setelah mengalahkan Chelsea? Kita lihat saja nanti.
Yang jelas Barcelona sekarang ini di bawah kendali Pep Guardiola tidak seperti Barcelona musim lalu yang ditangani Frank Rijkaard. Masih tetap menerapkan sepakbola menyerang, Barcelona yang sekarang ini lebih cepat dan tidak begitu hilang konsentrasi di La Liga karena posisi mereka di atas kertas sulit dikejar Real Madrid.
Bagi tiga wakil Inggris, ManYoo, Chelsea, dan Arsenal lolos ke semifinal ini bukan tanpa cela. Rakyat Inggris yang selama ini mengklaim negeri mereka sebagai motherland of football sebenarnya tidak harus berbangga dengan sukses klub-klub kecintaan mereka. Kita lihat dari sisi pemain, sukses ManYoo, Chelsea, dan Arsenal tidak terlalu melibatkan pemain lokal Inggris.
Yang lumayan mungkin hanya ManYoo, karena mereka memiliki local hero seperti Wayne Rooney, Michael Carrick, Rio Ferdinand atau Paul Scholes. Namun nama-nama seperti Cristiano Ronaldo, Carlos Tevez, Edwin van der Saar, Nani adalah pemain-pemain asing yang memberi kontribusi banyak terhadap sukses ManYoo. Ironisnya sang manajer Sir Alex Ferguson juga bukan orang Inggris meskipun dia berasal dari Skotlandia yang masih bisa diklaim orang Inggris.
Bagaimana dengan Chelsea? John Terry, Frank Lampard dan Ashley Cole adalah bintang lokal, tapi Didier Drogba, Michael Ballack, Peter Cech, Michael Essien, Salomon Kalou, Frank Malouda, adalah pemain-pemain asing yang menjadi kunci sukses The Blues. Dari sisi pelatih siapa yang tidak kenal dengan Guus Hiddink, The Flying Dutchman yang orang Belanda, dan persepakbolaannya masih di bawah Inggris.
Yang paling parah adalah Arsenal. The Gunners hanya punya Theo Walcott bintang lokal Inggris. Selebihnya Emmanuel Adebayor, Robin van Persie, Manuel Almunia, William Gallas, Nicklas Bendtner, Samir Nasri adalah pemain-pemain asing yang jadi pahlawan di Emirates Stadium. Setali tiga uang dengan ManYoo dan Chelsea, Arsenal juga dibesut pelatih non-Inggris. Arsene Wenger adalah orang Prancis yang justru sukses membangun kekuatan The Gunners.
Artinya, dominasi persepakbolaan Inggris sebenarnya tidak bisa dikatakan itu sebuah dominasi Inggris yang sesungguhnya. Pemain dan pelatih asli Inggris sebenarnya masih menjadi tamu di negeri mereka sendiri. Sebuah dominasi yang semu.
Bagi sepakbola yang sudah jadi industri apa yang tersaji ini memang bukan masalah yang penting. Tim Universal seperti klub-klub di Inggris adalah sebuah keharusan klub agar bisa bersaing di tingkat regional dan global. Namun demikian persepakbolaan Inggris tetap layak menjadi sebuah ‘buku sepakbola’ yang patut dipelajari oleh banyak pihak bahwa menerima sesuatu dari orang asing tidak selamanya buruk. Itulah sepakbola! (*)

Readmore »»

Selasa, 14 April 2009

Koalisi Partai dan Seni Berpolitik

Perolehan suara Partai Demoktrat (PD) di ajang Pileg 2009 tak dipisahkan dengan kuatnya figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dan PD pun semakin pede untuk menggolkan SBY sebagai RI-1 dengan menggandeng siapapun sebagai wakilnya. Masih kuatnya pesona SBY tak urung membuat keder PDI-P yang masih saja ingin mencalonkan Megawati untuk running pada Pilpres Juli mendatang.
Namun demikian bagi PDI-P demi masa depan partai, sudah selayaknya mereka tidak boleh gegabah kembali menghadapkan Megawati dengan SBY. PDI-P dan Megawati tentunya tak ingin kalah dua kali dalam gelanggang pilpres seperti pada 2004 lalu. Diakui atau tidak elektabilitas SBY masih lebih baik di bandingkan siapapun termasuk Megawati. Demi Megawati sudah seharusnya PDI-P berpikir ulang untuk kembali memajukan putri Bung Karno ini.
Untuk Partai Demokrat, yang tengah berada di atas angin adalah SBY, bukan partai tersebut. Dengan kata lain, PD sebenarnya tidak ada apa-apanya. Secara partai, Demokrat sebenarnya tidak determinan.
Perolehan suara Demokrat yang untuk sementara memimpin jauh, tak serta-merta menjadikannya sebagai penentu. SBY diyakini menjadi penentu akhir, apakah yang tadinya menjauh akan diterima kembali untuk mendekat. Yang jelas, partai-partai yang sudah mendekat tampak semakin rapat.
Partai Demokrat dan SBY tampaknya sudah sadar dengan kondisi ini karena itulah agar lebih aman PD pun tetap menerima uluran tangan partai lain untuk berkoalisi. Perolehan suara partai menunjukkan bagaimana sekarang ini para elit partai untuk bermain menjalankan strategi berpolitiknya agar tetap berada di lingkaran kekuasan atau kalau kalah lagi, tidak terlalu telak.
Peta koalisi seakan dibangun dari dua jalur, jalur Demokrat dan PDI Perjuangan. Demokrat tampaknya tak terlalu sulit menjalin mitra koalisinya untuk membangun jembatan emas (golden bridge). Aura cerah SBY mampu menarik partai-partai yang sudah menunjukkan gelagat menjauh untuk kembali mendekat. Partai Golkar, yang sebelumnya optimistis memimpin koalisi lain di luar PD, sekarang pun mulai ambil langkah mundur setapak untuk kembali merapat ke SBY. Salah satu alasannya, duet SBY-JK selama lima tahun terakhir ini sudah menunjukkan perkembangan yang baik bagi Indonesia.
Soetrisno Bachir yang sempat bertemu dengan Megawati dan Jusuf Kalla pun menunjukkan gelagat merapat ke PD. Mungkin yang agak berani adalah PKS, sebagai partai menengah namun bisa jadi penentu bandul pertarungan dua koalisi PKS berani mengancam untuk menarik diri dari koalisi PD bila SBY kembali bersanding dengan Golkar.
PKS yang mencoba menduetkan SBY dengan Hidayat Nur Wahid (HNW), merasa risih dengan gerakan Golkar yang mencoba untuk menyerobot pagar-pagar yang sudah dibangun PKS. Menurut Anis Matta, Sekjen PKS, bila PD menerima Golkar dinilai sebagai koalisi pragmatis yan hanya berpikir pada kekuasaan dan menang-kalah. Sebuah alasan yang sebenarnya terlalu mengada-ada karena di manapun yang namanya politik, ya berujung pada kekuasaan dan menang kalah.
Di kubu lain, koalisi yang dimotori PDI Perjuangan tampaknya bisa mendekatkan partai yang dibangun dua mantan jenderal. Wiranto, yang menjadi Ketua Umum Partai Hanura, selama ini diketahui tak menjalin komunikasi dengan Prabowo Subianto, yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Keduanya bertemu. Meski tak mengakui secara eksplisit, komunikasi politik yang dibangun bukan tak mungkin sebagai langkah membangun koalisi.
Pekan lalu, Ketua Dewan Pertimbangan PDI Perjuangan Taufik Kiemas bahkan sudah memastikan bahwa Hanura dan Gerindra berada di barisan koalisinya. Demi satu kepentingan, seteru pun bisa jadi kawan. Politik memang penuh liku-liku, politik itu sebenarnya sebuah seni seperti yang diungkapkan Hannah Arendt, politik adalah seni mengabdikan diri manusia untuk kebaikan manusia lainnya. (*)

Readmore »»

Minggu, 12 April 2009

Parpol, Pertarungan Kekuasan, Pertarungan Gagasan

Fakta survei tren empat sampai lima bulan terakhir menunjukkan, tiga partai politik menempati urutan teratas: Partai Demokrat, PDIP dan Golkar. Partai lain adalah papan tengah, termasuk parpol baru Gerindra dan Hanura. Partai Demokrat yang baru lahir lima tahun lalu praktis sekarang memimpin, mengalahkan parpol yang sudah berakar jauh ke dalam sejarah Indonesia. Termasuk mengalahkan PKB yang akarnya Nahdatul Ulama dan PAN yang akarnya Muhammadiyah –dua organisasi masyarakat sipil yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan.

Partai merupakan perwakilan dari masyarakat. Kalau betul Demokrat nomor satu artinya masyarakat Indonesia sudah semakin cair. Hal ini penting sebelum masuk ke peran gagasan.

Pemilu pertama di Indonesia dipersiapkan selama lima tahun terhitung sejak pengakuan resmi Belanda tahun 1949. Bung Hatta sebagai perdana menteri, membuat dekrit, partai–partai boleh berdiri. Ini tentu tidak mudah. Sekarang saja, tahun 2009, mengadakan pemilu masih berbelit: entah faktor KPU, peraturan dan surat suara.

Tahun 1955, butuh lima tahun untuk mempersiapkan pemilu. Semua orang bertanya-tanya, setelah Indonesia merdeka dan mendeklarasikan diri menjadi negeri yang demokratis, pemilunya seperti apa? Aspirasi politiknya seperti apa?

Nah, tahun 1955 merupakan ujian pertama. Saat itu belum ada yang bisa menganalisis, karena fakta-faktanya belum ada. Pada tahun 1955 hasil pemilu seperti ini: nomer satu PNI, nomer dua Masyumi, nomer tiga PKI.

Ini menunjukkan dari sejarah politik di Indonesia tidak ada partai politik yang berhasil mencapai suara 50 persen. Itu kenyataan pertama, bahwa tidak ada single majority. Masyarakat politik Indonesia adalah a fragmented society.

Lima besar partai pemenang pemilu 1955 adalah PNI, Masyumi, PKI, NU, PSII. Partai ini terbelah menjadi partai Islam (Masyumi, NU, dan PSII) dan partai sekuler (PNI dan PKI). Pada tahun 1955 pengamat politik sudah mengatakan bahwa rakyat Indonesia adalah masyarakat politik yang terfragmentasi, tidak ada kekuatan tunggal, dengan perolehan suara di bawah 30 persen.

Yang berbeda hanya pada jaman Suharto. Saat itu Golkar menang hingga 60-70 persen. Tapi hasil itu tidak melalui pemilu yang demokratis. Kalau melalui pemilu demokratis, inilah hasilnya. Tidak ada yang mencapai 50 persen. Kenyataannya adalah fragmentasi. Dan basis fragmentasi ini adalah politik aliran.

***

Politik aliran berada dalam pengertian yang satu sekuler dan yang lain Islamis. Adalah Clifford Geertz yang pertama kali meneliti fenomena ini. Ia meneliti di sebuah kota kecil di Jawa Tengah bernama Pare (1953-1955).

Ia menerbitkan sebuah buku dan banyak artikel yang kurang lebih mengisahkan bagaimana orang berkumpul, bagaimana orang menyampaikan aspirasi, bagaimana orang melihat identitas politiknya. Mereka terbagi dalam fragmentasi dan fondasinya adalah aliran, di mana agama jadi faktor yang sangat penting.

Politik Indonesia kurang lebih sama. Konsep ini benar karena memang kenyataan yang dicerminkan oleh konsep ini juga benar.

Aspirasi dasar dari kaum aliran Islam, misalnya Masyumi, NU dan PSII, adalah negara Islam. Negara Islam inilah yang menjadi isu utama perdebatan dalam parlemen dan konstituante hasil pemilu 1955 yang tak kunjung selesai.

Faktanya sekarang menunjukkan satu perubahan signifikan dalam peta politik. Kalau dulu tahun 1955 semua partai Islam meminta negara Islam, sekarang sudah tidak lagi. Kenapa orang begitu khawatir dengan PKS? Sebab orang menganggap PKS ini partai yang bagus, terorganisasi tapi aspirasinya meminta negara Islam. Tapi kenyataannya adalah tren negara Islam menurun. Satu unsur dalam politik aliran telah mencair.

Bagaimana dengan yang lainnya, apakah masyarakat Indonesia berubah? Dari data pemilu 1999 dan 2004, pengaruh agama dalam politik dalam pengertian tahun 1955 saat mereka meminta negara Islam, semakin berkurang.

***
 
Maka, menjadi penting memaknai proses ini untuk melihat bagaimana membaca masyarakat. Dalam satu hal, ada aspek positif karena telah terjadi pencairan politik aliran. Terutama bagi kaum sekuler ini adalah sebuah pertanda.

Lalu apa yang membedakan Golkar dan Partai Demokrat? Dari segi identitas, hampir tidak ada bedanya. Politisi Golkar dan PDIP juga perbedaannya hampir tidak ada. Nama partainya memang beda-beda, pimpinannya berbeda, satu Megawati satu SBY, tapi dari segi ekspresi politik keindonesiannya sama. Karena itu kita perlu melihat lebih dalam sedikit dari ekspresi identitas ini.

Inilah pentingnya peran gagasan atau ide. Apa yang sebenarnya mau diperjuangkan politisi PDIP, apa sebenarnya yang mau diperjuangkan politisi Golkar? Apa yang diperjuangkan oleh mereka tahun 1955, tahun 1999, 2004 dan 2009? Apa perbedaannya yang substantif dan apa yang berubah? Itulah yang memberi kita perspektif lebih dalam tentang politik.

Jangan lupa, partai dan demokrasi harus dilihat sebagai alat untuk mencapai Indonesia yang lebih baik. Pertanyaannya bagaimana kita ingin partai menjadi arena pertarungan gagasan. Bukan cuma arena pertarungan kekuasaan.

Bukan hanya partai dan politik tidak boleh menjadi tujuan, dia hanya boleh menjadi alat saja. Bukan hanya alat untuk mencapai kekuasaan, alat untuk kompetisi kekuasaan, tetapi juga alat untuk melaksanakan kompetisi gagasan. Dalam satu hal sudah bagus, gagasan tentang agama dan identitas dimenangkan oleh kaum yang lebih modern, tapi gagasan tentang ekonomi masih harus menunggu.

Mungkin saatnya perlu lima sampai 10 tahun lagi. Ya, pada tahun 2014-2019 partai-partai itu mungkin akan menjadi arena pertarungan gagasan. Mudah-mudahan dalam kondisi perpolitikan selanjutnya dalam kehidupan kepartaian terjadi kristalisasi gagasan. Dengan demikian, antara partai-partai itu jika berbicara tentang ekonomi atau konsep pembangunan, jelas perbedaannya. Dengan cara ini, pilihan kita terhadap partai politik menjadi lebih mudah.

Disarikan dari ceramah Rizal Mallarangeng, ”Parpol dan Konsolidasi Demokrasi: Peran Gagasan” pada Kursus Penyegaran Wartawan Freedom Institute X, 28 Februari 2009 di Bukit Talita Mountain Resort, Ciloto.
• VIVAnews

Readmore »»

Sabtu, 11 April 2009

Demokrat Dintungkan Konflik Internal Partai

Tidak selamanya konflik itu berujung pahit. Boleh jadi itulah yang kini dirasakan Partai Demokrat. Adanya konflik internal di sejumlah parpol justru membawa keberuntungan bagi Demokrat. Jika mengacu pada acuan hitung cepat, raihan suara Demokrat bisa dibilang fantastis. Perolehannya melonjak nyaris 300 persen bila dibandingkan pada Pemilu 2004 yang hanya berada pada kisaran 7 persen suara nasional. Tidak hanya itu, 5 dari 7 provinsi 'gemuk' pun dimenangi parpol bernomor 31 ini.


Lumbung suara milik parpol lain seperti PKS di Jakarta, Golkar di Jawa Barat serta Sumatera Utara dan PKB di Jawa Timur pun dibobol Demokrat. Di beberapa tempat itu, PD leading dalam raihan suara. Tidak heran banyak analisis bermunculan melihat fenomena ini. Bila merujuk kasus PKB di Jawa Timur misalnya, Demokrat lebih disebabkan penggembosan Gus Dur. Belum lagi, adanya Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dinilai juga menyebabkan suara PKB dari kalangan NU melorot tajam. Selain ke PKNU, suara PKB banyak yang beralih ke Demokrat. Ada juga yang ke PDIP terutama dari Baitul Muslimin.
Berdasarkan hasil quick count yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesai (LSI), Jatim kini dikuasai oleh Partai Demokrat yang mendapat 20,61% diikuti oleh PDIP dengan 15,01%. Sementara itu PKB harus puas berada di posisi ke 3 dengan 12,26%. Selanjutnya Golkar (10,86%) dan PKS (4,95%). Bila dibandingkan dengan perolehan suara PKB pada Pemilu 2004, jumlah yang diperoleh PKB sebesar 31% atau sekitar 6,5 juta suara. Dengan demikian, PKB mengalami penuruanan suara hingga 18% pasca ditinggalkan oleh Gus Dur.
PKB tidak siap melakukan konsolidasi internal sehingga tidak mampu mempertahanklan basis suaranya di Jatim. Sama halnya dengan yang terjadi di Golkar. Penurunan suara beringin di Jabar dan Sumut diprediksi lebih disebabkan oleh faktor internal DPD Golkar setempat. Pendukung beringin kehilangan figur elit yang mumpuni.
Di Golkar ada faktor ketokohan yang hilang. Pada 2004 jualannya Golkar di Sumut adalah figur Akbar Tandjung yang dikenal luas masyarakat Sumut. Tapi sekarang Golkar kehilangan figur seperti Akbar di Sumut.
Hasil hitung cepat LSI, Demokrat menggunguli Golkar dengan mendapatkan 26,56%. Sedangkan Golkar memperoleh 11,89%, diikuti PDI-P dengan 9,89%. Bila dibandingkan dengan perolehan suara pada Pemilu 2004, Golkar kehilangan sekitar 10% suara pada Pemilu 2009 ini. Secara berurutan, perolehan suara parpol pada Pemilu 2004 di Sumut yakni, Golkar (22,6%), PDIP (15,9%), PDS (7,6%), PPP (7,5%), dan Partai Demokrat (6,9 %).
Pindahnya mantan Ketua DPD Golkar Sumut Abdul Wahab Dalimunthe ke Demokrat juga merupakan penyebab menurunnya pundi suara Golkar di Sumut. Untuk itulah Demokrat lebih unggul dari Golkar, karena Demokrat kebetulan punya tokoh lokal yang bagus di Sumut seperti Wahab Dalimunthe itu.
Hal sama juga terjadi di Jabar. Melemahnya dukungan birokrasi dan sikap Golkar Jabar yang dianggap menonjolkan premanisme menjadi penyebab terpuruknya beringin. Kepemimpinan DPD Golkar Jabar kurang disenangi masyarakat. Premanisme masih dilakukan oleh oknum Golkar di Jabar. Hilang sudah Golkar yang dulunya baik dan teladan. Sekarang Golkar Jabar dipimpin oleh orang-orang yang dulunya nge-jago di Jabar.
Golkar juga dianggap gagal mencitrakan diri sebagai parpol yang profesional, berintelektual tinggi dan muda. Sehingga tidak heran suara Golkar di Jabar digerus parpol-parpol baru. Partai baru telah berhasil menggerogoti suara Golkar di Jabar. Meraka itu adalah Demokrat, Gerindra dan Hanura. Suara yang mereka dapat itu dulunya suara Golkar yang sekarang telah beralih ke tiga partai baru itu.
Dalam Pemilu 2004 lalu, Golkar masih mengungguli parpol-parpol lain di Jabar dengan memperoleh 29,4%. Diikuti oleh PDIP 16,7 persen, PKS di posisi ketiga dengan perolehan suara 11,4 persen, lalu PPP memperoleh 9,9 persen dan Partai Demokrat hanya 8,3% suara. Namun hasil hitung cepat LSI di Jabar menunjukkan, Demokrat meraih 23,32 persen, PDIP (15,57%), Golkar (15,49%), PKS (9,86%) dan PAN (5,47%). Jika merujuk pada hasil hitung cepat, Pemilu 2009 memang milik Demokrat. Tetapi, untuk Pilpres 2009 belum tentu. Peluang menang memang besar, tetapi kemungkinan kalah juga tetap terbuka. (*)

Readmore »»

Jumat, 10 April 2009

NASAKOM dan TRIPOLAR

Meski bukan perhitungan resmi, sehari setelah penyontrengan namun hitung cepat atau quick count beberapa lembaga survei dapat memperjelas posisi parpol-parpol gurem. Bahkan kalau boleh dibilang Pemilu 2009 ini merupakan neraka bagi parpol gurem tersebut.
Sekitar 29 partai tidak lolos parliamentary treshold (PT). Ini menjadi kuburan bagi partai kecil, Menurut data LSI terkait pemilu legislatif, sebanyak 6 parpol mengalami nasib NASAKOM (Nasib Satu Koma). Parpol tersebut adalah PBB (1,63%), PKPB (1,57%), PKNU (1,36%), PDS (1,31%), PBR (1,24%) dan PPRN (1,1%).
Sedangkan parpol yang lolos PT, lanjut dia, ada sekitar 9 parpol. Di antaranya partai Demokrat, PDI-P, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra dan Partai Hanura. Sisanya menjadi partai nol koma.
Dengan kondisi tersebut, kita bisa melihat wajah DPR pada 2009 diperkirakan akan lebih ramping dari periode sebelumnya. Selain itu, dari sistem bipolar akan berubah menjadi tripolar.
Lolosnya 9 parpol, dari sebelumnya 16 parpol lolos PT atau berkurang 40% dari kontribusi 7 parpol yang tidak lolos, akan mengubah peta kekuasaan di lembaga parlemen tersebut. Pada pemilu 2004 lalu Golkar memperoleh sekitar 21,58% dan PDI-P sebesar 18,23%. Sistem kekuasaan akan beralih menjadi tripolar, dulu hanya Golkar dan PDI-P. Nah sekarang ada Demokrat.
Dengan munculnya tripolar ini tentu mereka tidak bisa sepenuhnya berdiri sediri, sehingga keberadaan PKS, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Partai Hanura menjadi sangat penting karena mereka pasti diajak koalisi untuk menguatkan posisi di parlemen.
Dengan kata lain sentra kekuatan parlemen nanti memang ada pada Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P, namun keberadaan PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura menjadi penyeimbang memiliki nilai tawar tinggi. (*)

Readmore »»

Rabu, 08 April 2009

The Big Three Pemilu 2009

Seperti sudah diprediksi pada survei-survei sebelumnya, survei Lingkar Survei Indonesia (LSI) empat hari menjelang pemilu juga menguatkan prediksi bahwa pertarungan sengit hanya akan terjadi pada tiga partai. Partai Demokrat, PDI Perjuangan, dan Partai Golkar masih berpeluang untuk saling mengalahkan. Ketiga partai ini diperkirakan memperoleh suara lebih dari 12 persen dan menduduki posisi sebagai papan atas. Siapa pemenang pada 9 April? Sang juara akan ditentukan oleh empat faktor pada empat hari terakhir menjelang pemilu.

Direktur Eksekutif LSI Denny JA menjelaskan, faktor pertama adalah kemampuan mesin lokal memobilisasi calegnya. "Survei menunjukkan bahwa 30 persen responden memilih caleg dan tidak peduli dengan partai politik. Mesin lokal yang kuat akan lebih menguntungkan dan biasanya dimiliki oleh partai besar," kata Denny saat launching hasil survei, Selasa (7/4) di Jakarta.
Untuk faktor ini, PDI Perjuangan dan Golkar lebih unggul di bandingkan Demokrat. Demikian pula untuk faktor kedua, yaitu kemampuan mesin lokal untuk meminimkan golput di basisnya."Diduga, golput akan lebih besar di bandingkan golput pada Pemilu Legislatif 2004. Semakin banyak pendukung sebuah partai yang golput, semakin berkurang kekuatannya di bilik suara," kata dia.
PDI Perjuangan dan Golkar pun diprediksi masih lebih unggul dibandingkan Demokrat. Sebaliknya, untuk faktor ketiga, citra partai, Demokrat dinilai lebih unggul dibandingkan dua rivalnya. Begitu juga untuk faktor keempat berupa efek program BLT.
Sebanyak 18 juta kepala keluarga yang mendapatkan BLT akan menguntungkan bagi partai berasosiasi positif dengan BLT. "Demokrat lebih unggul di citra partai dan BLT. Namun, PDI Perjuangan dan Golkar unggul di mesin lokal dan meminimalkan golput di basisnya," kata Denny.
Survei yang dilakukan terhadap 1.200 responden di 33 provinsi ini masih menyisakan 21 persen responden yang belum menentukan pilihannya. Masa tenang selama tiga hari ini, menurut Denny, akan menentukan negasi suara paling masif. (*)
.

Readmore »»

Senin, 06 April 2009

SBY Paling Kuat, Megawati Tetap Penantang

SURVEI politik selalu menimbulkan pro kontra terutama tentang hasilnya. Termasuk juga tentang hasil survei siapa yang nantinya jadi presiden RI hasil Pilpres Juli mendatang. Terlepas dari percaya atau tidak dengan hasil survei karena itu berdasar pesanan atau memang benar-benar murni, sebaiknya hasil survei itu tetap dijadikan bahan evaluasi. Apa pun hasil dan latar belakang dari survei itu tentu masih lebih baik bila di bandingkan dengan hasil penerawangan para dukun.
Berikut ini kita tampilkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) secara nasional pada 8-18 Februari 2009. Jumlah sampel sebanyak 2.455 orang dengan tingkat keyakinan 95 persen. Responden adalah seluruh warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dalam pemilihan umum, yaitu yang berusia minimal 17 tahun atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Penarikan sample dilakukan dengan Metode Multistage Random Sampling.

Dalam survei ini, terdapat beberapa temuan calon presiden Indonesia yang layak menurut masyarakat. Secara time series, popularitas SBY masih lebih tinggi dibandingkan dengan Megawati, bahkan di bulan Februari 2009, popularitas SBY meningkat tajam yaitu sebesar 50,3 persen sementara itu, Megawati 18,5 persen. Selain dua nama tersebut, Sultan dan Prabowo mulai mendapat tempat di masyarakat sebagai calon presiden, di mana mereka mengantongi suara sebanyak masing-masing 4 persen, sementara Wiranto dan JK hanya masing-masing 3 persen dan 2 persen.

Jika masyarakat harus memilih di antara 5 (lima) nama sebagai kandidat presiden, maka SBY memperoleh suara tertinggi, yaitu sebesar 54 persen, sementara Mega 20 persen, Sultan dan Prabowo masing-masing memperoleh 6 persen suara dan Wiranto hanya memperoleh 4 persen suara.

Jika hanya ada tiga kandidat calon presiden, yaitu SBY, Mega dan Sultan, maka masyarakat memilih SBY sebanyak 59 persen, Mega 22 persen, dan Sultan hanya 8 persen. Jika ketiga kandidat adalah SBY, Mega, dan Prabowo, maka SBY tetap memperoleh 59 persen suara, sementara Mega dan Prabowo masing-masing mendapat 21 persen dan 7 persen.

Jika Wiranto menjadi salah satu kandidat menggantikan Prabowo, sementara Mega dan SBY tetap, maka SBY tetap memperoleh suara terbesar, yaitu 60 persen. Dua puluh tiga persen untuk Mega, dan 5 persen untuk Wiranto.

Jika hanya ada dua kandidat sebagai calon presiden, yaitu Wiranto dan SBY, maka mereka memperoleh suara masing-masing sebesar 11 persen dan 71 persen. Jika kedua kandidat tersebut adalah Prabowo dan SBY, maka masing-masing memperoleh suara sebesar 70 persen dan 14 persen. Jika SBY dibandingkan dengan Sultan, maka masing-masing akan memperoleh 70 persen dan 13 persen.

Bagaimana peluang Mega jika berhadapan dengan SBY? SBY cukup kuat di mata masyarakat dibandingkan dengan Mega dengan perolehan suara masing-masing sebesar 64 persen dan 23 persen.
Dalam survei yang dilakukan oleh LSI ini, posisi SBY sebagai calon presiden di mata masyarakat secara signifikan semakin kuat. Nah...ini hasil survei dari LSI, percaya atau tidak? Terserah tapi tetap saja ini sangat penting bagi para tim sukses. Biar bagaimanapun dari satu sisi, sudah bisa dilihat bagaimana kekuatan para Capres yang mereka tangani. (*)
.

Readmore »»

Sabtu, 04 April 2009

10 Cars that sanks Detroit

The global financial crisis is suffocating the Detroit automakers, but the problems at General Motors, Ford, and Chrysler have been festering for years—even when the mighty "Big Three" were earning billions. Aging factories, inflexible unions, arrogant executives and shoddy quality have all damaged Detroit. Now, with panicky consumers fleeing showrooms, catastrophe looms: There will be plenty of business-school case studies analyzing all the automakers' wrong turns. But, as they say in the industry, it all comes down to product. So here are 10 cars that help explain the demise of Detroit: GM and Chrysler need a multibillion-dollar government bailout to survive, and both could be in bankruptcy by summer if they don't meet tough government demands. Ford hasn't asked for a bailout—yet—but it's bleeding cash and racing the clock to turn itself around.



Ford Pinto. This ill-fated subcompact came to epitomize the arrogance of Big Auto. Ford hurried the Pinto to market in the early 1970s to battle cheap imports like the Volkswagen Beetle that were selling for less than $2,000. Initial sales were strong, but quality problems emerged. Then came the infamous safety problems with exploding fuel tanks, which Ford refused to acknowledge. Message: The customer comes last. "The problems for the domestics really started in the '70s when they were offering cars like the Pinto up against higher-tech, better-built Toyota Corollas and Honda Civics," says Jack Nerad of Kelley Blue Book.



Chevrolet Cavalier. GM sold millions of Cavaliers in the 1980s—and decided the thrifty car was so successful the company didn't need to update it for more than a decade. To milk the model, GM even added some lipstick and high heels and tried to peddle the upgrade as the Cadillac Cimarron—a legendary flop. Honda and Toyota, meanwhile, were updating their competing models every four or five years, and grabbing market share with each quality improvement. A new Cavalier came out in the mid 1990s—then languished for another decade, while GM put most of its money into big trucks and SUVs. GM has since improved its small cars. "But they have to be miles better than the imports for Americans to forget how bad their small cars used to be," says Jamie Page Deaton of U.S. News's Rankings and Reviews car-ranking site. Even if they are better, many Americans wonder why they should give Detroit a second—or third—chance.



Chevrolet Astro. While Chrysler, Toyota, and Honda were refining their minivans in the 1990s and coming up with innovations like hideaway seats and electric sliding doors, GM was offering an old, truck-based van gussied up with carpeting and cupholders. "It showed GM's repeated failure to market competitive products based on styling and packaging," says Tom Libby of J. D. Power & Associates. The Astro drove like a bread truck, and consumers noticed. It also earned the worst safety ratings in its class. Before long, GM was effectively out of the minivan segment. No biggie—those were just mainstream American families the automaker decided to ignore.



Ford Taurus. Try to explain this logic: After its 1986 debut, the Taurus became a perennial bestseller. So for the next 20 years, Ford let quality decline and neglected the family sedan, while pouring love and money into trucks and SUVs. By early this decade, the Taurus had become a dowdy, rental-lot staple. So Ford simply retired the Taurus in 2006 and replaced it with the 500 sedan—which went on to set records as one of the most short-lived models ever. A year later, Ford revived the Taurus name and applied it to a bastardized 500. But by then, the damage was done.



Ford Explorer. This breakout vehicle helped launch SUVs and drove record profits at Ford in the 1990s, as Americans flocked to big utilities that could take them off-road if they ever got adventurous. It also blinded Ford to the future. "Executives could not see beyond the green piling up at their feet," says David Magee, author of How Toyota Became No. 1. "The Explorer helped create an addiction that lasted 15 years." GM and Chrysler followed right behind, with SUVs like the Chevy Trailblazer and the Dodge Durango—lockstep moves that reveal how the Detroit automakers focused on each other rather than the broader marketplace.



Jaguar X-Type. Ford bought the British luxury brand Jaguar in 1990, when all three Detroit automakers were seeking ways to expand their global reach. Eventually, Ford decided to build an entry-level Jaguar starting at around $30,000 for people looking to move up from, say, a Mercury Marquis. The down-market move "represented everything that Jaguar is not," says Libby of J. D. Power. The X-Type was built on an ordinary sedan platform from elsewhere in Ford's lineup, and the front-wheel-drive system underwhelmed enthusiasts used to rear-drive European makes. Jag purists were horrified, and aspiring luxury buyers shunned the X-Type in favor of BMWs, Lexuses, and Acuras. After fumbling the luxury brand for nearly two decades, Ford sold Jaguar to an Indian conglomerate in 2008.



Hummer H2. It sure seemed cool back in 2003, when gas was less than $2 per gallon. And it sure seems gaudy now. This supersized SUV clearly had a heyday, but it also helped paint parent company GM as an enviro-hostile corporation that sold only gas guzzlers. Sales collapsed as gas prices rose toward $4 a gallon in mid-2008, and GM has been trying to sell the division for six months—with no takers, so far. "GM wanted to make Hummer a signature company brand," says Magee. "Instead, it showed the company was out of touch with the needs of the 21st century."



Toyota Prius. While GM was spending $1 billion to build up the Hummer franchise, Toyota was spending $1 billion to develop a high-mileage hybrid—even though gas prices were still low. After the Prius debuted in the United States in 2000, GM execs seized yet another opportunity to display their intimate knowledge of American consumers, arguing that hybrids didn't make economic sense and that only environmentalists would buy them. Today, Toyota can barely keep up with demand for the Prius, and it has plans to start building them in the United States. GM, meanwhile, is scrambling to rush hybrids and other high-mileage cars into dealerships—far too late.



Chrysler Sebring. Did Chrysler engineers set out to build the world's most boring car? Of course not. Yet Chrysler still produces this blandmobile to keep assembly lines running and maintain a presence, however weak, in the sedan market. In the new Darwinian auto industry, this model seems destined for extinction, since the only way to sell marginal cars is with steep discounts, which money-losing automakers can no longer afford. In fact, if Chrysler ends up being carved into pieces and sold to competitors, as many analysts expect, most of its passenger-car lineup could get the axe, since there's little to distinguish it. Besides—what's a sebring, anyway?



Jeep Compass. Quick, what's the difference between the Jeep Compass, the Jeep Liberty, and the Jeep Patriot? The bosses at Chrysler, which owns Jeep, could explain, but the real answer is that Chrysler has oversaturated its strongest brand lineup in a desperate attempt to boost sales. "The Compass is not needed," says James Bell of Intellichoice.com. "Just the Liberty, please." The Compass has the same mechanical underpinnings as the Dodge Caliber, which helps illustrate one of Detroit's favorite tricks: Create multiple versions of every product under a bunch of different brand names, hoping that if buyers shun one, they'll take a more favorable view of another. Message to Detroit: Consumers aren't that stupid. Give them a bit more credit, and you might have a future.

Readmore »»

Kamis, 02 April 2009

Mahalnya Biaya Sosial Pileg

ENTAH janjian atau tidak beberapa Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di Indonesia telah menyediakan kamar khusus bagi para caleg yang nantinya stress apabila tidak gagal dalam Pileg 9 April nanti. Berita ini tentu menuai berbagai tanggapan, dari kalangan caleg mereka merasa dilecehkan dan ancang-ancang untuk melakukan gugatan terhadap para direktur RSJ tersebut.
Tapi di sisi lain sebagian besar masyarakat percaya bahwa Pileg nanti pasti menimbulkan korban, minimal korban stres bagi para caleg yang gagal. Para caleg berpotensi menderita gangguan fisik, karena faktor psikis atau yang dikenal dengan psikosomatik. Hal ini terjadi, karena gangguan keseimbangan saraf otonom, sistem hormon, gangguan organ tubuh, dan sistem pertahanan tubuh.
Kita sering mendengar atau melihat, kerap orang yang mengalami stres tidak menyadari dirinya stres. Stres menjelang pemilu legislatif dengan sistem suara terbanyak, sudah menelan korban. Bahkan, ada caleg dari Jawa Tengah, misalnya, telah memesan kamar di rumah sakit jiwa. Ini sungguh tragedi.
Dalam ilmu kedokteran Stres merupakan faktor utama terjadinya gangguan jiwa yang berdampak pada gangguan fisik atau psikosomatik. Keluhan yang muncul bisa berupa sakit kepala, pusing melayang, tangan gemetar, sakit leher, nyeri punggung, dan otot terasa kaku.
Tanda-tanda lainnya adalah banyak berkeringat terutama di ujung jari tangan dan kaki, kaki dan tangan terasa dingin, gatal di kulit tanpa sebab yang jelas, nyeri dada, nyeri ulu hati, mual, perut kembung, dan diare.
Gejala fisik ini bisa juga karena penyakit organik, artinya memang sudah ditemukan sebelumnya, maka perlu dipastikan ada atau tidak penyakit organik sebelum disimpulkan para caleg menderita psikosomatik karena stres.
Stres memperburuk penyakit kronis. Misalnya, diabetes mellitus, sakit jantung, stroke, hipertensi, rematik sendi dan non-sendi, gangguan seksual, gangguan buang air kecil, obesitas, kehilangan daya ingat, infertilitas, tiroid, asma, autoimun, dan sindrom usus iritabel.
Sementara itu, ada caleg meninggal, karena serangan jantung. Stres merupakan salah satu faktor risiko serangan jantung. Para dokter mencontohkan, karena stres, kadar gula darah penderita diabetes tak terkontrol, dan ini menjadi pencetus serangan jantung atau stroke.
Dana yang besar yang telah dikeluarkan caleg selama kampanye yang panjang merupakan faktor stres. Belum lagi jika dana itu diperoleh lewat pinjaman dari bank atau Pegadaian dengan menjadikan harta benda caleg sebagai jaminan.
Jika tidak bisa mengembalikan pinjaman, situasi ini membuat caleg berpotensi stres berat. Ada pendapat, sistem suara terbanyak membuat caleg bekerja keras, termasuk caleg yang tadinya adalah nomor jadi. Dan caleg pusat yang selama ini lebih banyak menunggu menjadi tidak aman karena relatif tidak dikenal dibandingkan caleg yang berada di daerah pemilihan.
Kita menginginkan para caleg tak ambisius, namun sabar, tabah dan siap menghadapi kegagalan menjadi anggota parlemen agar tak terkena penyakit jiwa. Sebab penyakit jiwa, apapun jenisnya, mengganggu harmoni sosial dan keluarga. Sungguh, pemilu legislatif, mahal biaya sosialnya. (*)
.

Readmore »»

Inspirationa Quotation

"The big secret in life is that there is no big secret. Whatever your goal, you can get there if you're willing to work".

(Oprah Winfrey, American TV host, media mogul, and philanthropist)

kartun united





FIrman Allah SWT

"Innal hasanaat tushrifna sayyiaat" (Sesungguhnya kebaikan akan mengalahkan kejahatan) - (Hud:114).

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP