Senin, 25 Mei 2009

Sekilas Tentang Neo-Liberalisme

PRINSIP utama dari Neo Liberalisme adalah free market dan free trade.
Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik akhir-abad keduapuluhan, sebenarnya merupakan redefinisi dan kelanjutan dari liberalisme klasik yang dipengaruhi oleh teori perekonomian neoklasik yang mengurangi atau menolak penghambatan oleh pemerintah dalam ekonomi domestik karena akan mengarah pada penciptaan Distorsi dan High Cost Economy yang kemudian akan berujung pada tindakan koruptif.
Paham ini memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas, merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah negara dan modernisasi melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi.

Dalam kebijakan luar negeri, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi, dan/atau intervensi militer. Pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas.

Neoliberalisme secara umum berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan intervensi pemerintah (seperti paham Keynesianisme), dan melangkah sukses dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Untuk meningkatkan efisiensi korporasi, neoliberalisme berusaha keras untuk menolak atau mengurangi kebijakan hak-hak buruh seperti upah minimum, dan hak-hak daya tawar kolektif lainnya.

Neoliberalisme bertolakbelakang dengan sosialisme, proteksionisme, dan environmentalisme. Secara domestik, ini tidak langsung berlawanan secara prinsip dengan poteksionisme, tetapi terkadang menggunakan ini sebagai alat tawar untuk membujuk negara lain untuk membuka pasarnya. Neoliberalisme sering menjadi rintangan bagi perdagangan adil dan gerakan lainnya yang mendukung hak-hak buruh dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi prioritas terbesar dalam hubungan internasional dan ekonomi.


Bagi kaum liberal, pada awalnya kapitalisme dianggap menyimbolkan kemajuan pesat eksistensi masyarakat berdasarkan seluruh capaian yg telah berhasil diraih. Bagi mereka, masyarakat pra-kapitalis adalah masyarakat feodal yang penduduknya ditindas.

Bagi John Locke, filsuf abad 18, kaum liberal ini adalah orang-orang yg memiliki hak untuk 'hidup, merdeka, dan sejahtera'. Orang-rang yang bebas bekerja, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun, termasuk dalam kebebasan untuk 'hancur', bebas hidup tanpa tempat tinggal, bebas hidup tanpa pekerjaan.

Kapitalisme membanggakan kebebasan seperti ini sebagai hakikat dari penciptaannya. dan dalam perjalanannya, kapitalisme selalu menyesuaikan dan menjaga kebebasan tersebut. Misalnya masalah upah pekerja, menurut konsepsi kapitalis, semua keputusan pemerintah atau tuntutan publik adalah tidak relevan.

Kemudian paham yang terbentuk bagi kaum liberal adalah kebebasan, berarti: ada sejumlah orang yang akan menang dan sejumlah orang yg akan kalah. Kemenangan dan kekalahan ini terjadi karena persaingan. Apakah anda bernilai bagi orang lain, ataukah orang lain akan dengan senang hati memberi sesuatu kepada anda. Sehingga kebebasan akan diartikan sebagai memiliki hak-hak dan mampu menggunakan hak-hak tsb dengan memperkecil turut campur nya aturan pihak lain. "kita berhak menjalankan kehidupan sendiri"

Saat ini, ekonom seperti Friedrich von Hayek dan Milton Friedman kembali mengulangi argumentasi klasik Adam Smith dan JS Milton, menyatakan bahwa: masyarakat pasar kapitalis adalah masyarakat yg bebas dan masyarakat yang produktif. Kapitalisme bekerja menghasilkan kedinamisan, kesempatan, dan kompetisi. Kepentingan dan keuntungan pribadi adalah motor yang mendorong masyarakat bergerak dinamis.


Kekalahan liberalisme

Sejak masa kehancuran Wall Street (dikenal dengan masa Depresi Hebat atau Great Depression) hingga awal 1970-an, wacana negeri industri maju masih 'dikuasai' wacana politik sosial demokrat dengan argumen kesejahteraan.

Kaum elit politik dan pengusaha memegang teguh pemahaman bahwa salah satu bagian penting dari tugas pemerintah adalah menjamin kesejahteraan warga negara dari bayi sampai meninggal dunia. Rakyat berhak mendapat tempat tinggal layak, mendapatkan pendidikan, mendapatkan pengobatan, dan berhak mendapatkan fasilitas-fasilitas sosial lainnya.

Dalam sebuah konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods pada 1944, setelah Perang Dunia II. Konferensi yang dikenal sebagai konferensi Bretton Woods ini bertujuan mencari solusi untuk mencegah terulangnya depresi ekonomi di masa sesudah perang. Negara-negara anggota PBB lebih condong pada konsep negara kesejahteraan sebagaimana digagas oleh John Maynard Keynes. Dalam konsep negara kesejahteraan, peranan negara dalam bidang ekonomi tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal, khususnya untuk menggerakkan sektor riil dan menciptakan lapangan kerja.

Pada kondisi dan suasana seperti ini, tulisan Hayek pada tahun 1944, The Road Of Serdom, yg menolak pasal-pasal tentang kesejahteraan dinilai janggal. Tulisan Hayek ini menghubungkan antara pasal-pasal kesejahteraan dan kekalahan liberal, kekalahan kebebasan individualisme.

Kebangkitan Neoliberalisme

Perubahan kemudian terjadi seiring krisis minyak dunia tahun 1973, akibat reaksi terhadap dukungan Amerika Serikat terhadap Israel dalam perang Yom Kippur, dimana mayoritas negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah melakukan embargo terhadap AS dan sekutu-sekutunya, serta melipatgandakan harga minyak dunia, yang kemudian membuat para elit politik di negara-negara sekutu Amerika Serikat berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, dan beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Pada situasi inilah ide-ide libertarian sebagai wacana dominan, tidak hanya di tingkat nasional dalam negeri tapi juga di tingkat global di IMF dan World Bank.

Pada 1975, di Amerika Serikat, Robert Nozick mengeluarkan tulisan berjudul "Anarchy, State, and Utopia", yang dengan cerdas menyatakan kembali posisi kaum ultra minimalis, ultra libertarian sebagai retorika dari lembaga pengkajian universitas, yang kemudian disebut dengan istilah "Reaganomics".

Di Inggris, Keith Joseph menjadi arsitek "Thatcherisme". Reaganomics atau Reaganisme menyebarkan retorika kebebasan yang dikaitkan dengan pemikiran Locke, sedangkan Thatcherisme mengaitkan dengan pemikiran liberal klasik Mill dan Smith. Walaupun sedikit berbeda, tetapi kesimpulan akhirnya sama: Intervensi negara harus berkurang dan semakin banyak berkurang sehingga individu akan lebih bebas berusaha. Pemahaman inilah yang akhirnya disebut sebagai "Neoliberalisme".

Paham ekonomi neoliberal ini yang kemudian dikembangkan oleh teori gagasan ekonomi neoliberal yang telah disempurnakan oleh Mazhab Chicago yang dipelopori oleh Milton Friedman.

Neoliberalisme

Neoliberalisme bertujuan mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar, dengan pembenaran mengacu pada kebebasan. Seperti pada contoh kasus upah pekerja, dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-masalah tenaga kerja sepenuhnya ini urusan antara si pengusaha pemilik modal dan si pekerja. Pendorong utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki-dikelola pemerintah.

Tapi privatisasi ini tidak terjadi pada negara-negara kapitalis besar, justru terjadi pada negara-negara Amerika Selatan dan negara-negara miskin berkembang lainnya. Privatisasi ini telah mengalahkan proses panjang nasionalisasi yang menjadi kunci negara berbasis kesejahteraan (welfare state). Nasionalisasi yang menghambat aktivitas pengusaha harus dihapuskan.

Revolusi neoliberalisme ini bermakna bergantinya sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan. Sehingga menurut kaum Neoliberal, sebuah perekonomian dengan inflasi rendah dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik.

Dalam titik ini pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan memotong pengeluaran, memotong biaya-biaya publik seperti subsidi, sehingga fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik harus dikurangi.

Akhirnya logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik. Ini menjadi pondasi dasar neoliberalism, menundukan kehidupan publik ke dalam logika pasar. Semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara harusnya menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggara bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi ekonomi bagi pemerintah. Pelayanan publik semata, seperti subsidi dianggap akan menjadi pemborosan dan inefisiensi. Neoliberalisme tidak mengistimewakan kualitas kesejahteraan umum.

Tidak ada wilayah kehidupan yang tidak bisa dijadikan komoditi barang jualan. Semangat neoliberalisme adalah melihat seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Misalnya dengan sektor sumber daya air, program liberalisasi sektor sumber daya air yang implementasinya dikaitkan oleh Bank Dunia dengan skema watsal atau water resources sector adjustment loan. Air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas ekonomi semata. Hak penguasaan atau konsesi atas sumber daya air ini dapat dipindah tangankan dari pemilik satu ke pemilik lainnya, dari satu korporasi ke korporasi lainnya, melalui mekanisme transaksi jual beli. Selanjutnya sistem pengaturan beserta hak pengaturan penguasaan sumber air ini lambat laun akan dialihkan ke suatu badan berbentuk korporasi bisnis atau konsursium korporasi bisnis yang dimiliki oleh pemerintah atau perusahaan swasta nasional atau perusahaan swasta atau bahkan perusahaan multinasional dan perusahaan transnasional.

Satu kelebihan neoliberalisme adalah menawarkan pemikiran politik yang sederhana, menawarkan penyederhanaan politik sehingga pada titik tertentu politik tidak lagi mempunyai makna selain apa yang ditentukan oleh pasar dan pengusaha. Dalam pemikiran neoliberalisme, politik adalah keputusan-keputusan yang menawarkan nilai-nilai, sedangkan secara bersamaan neoliberalisme menganggap hanya satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Semua pemikiran diluar rel pasar dianggap salah.

Kapitalisme neoliberal menganggap wilayah politik adalah tempat dimana pasar berkuasa, ditambah dengan konsep globalisasi dengan perdagangan bebas sebagai cara untuk perluasan pasar melalui WTO, akhirnya kerap dianggap sebagai Neoimperialisme.


Penyebaran Neoliberalisme

Penerapan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara mencolok dimotori oleh Inggris melalui pelaksanaan privatisasi seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mereka. Penyebarluasan agenda-agenda ekonomi neoliberal ke seluruh penjuru dunia, menemukan momentum setelah dialaminya krisis moneter oleh beberapa Negara Amerika Latin pada penghujung 1980-an. Sebagaimana dikemukakan Stiglitz, dalam rangka menanggulangi krisis moneter yang dialami oleh beberapa negara Amerika Latin, bekerja sama dengan Departemen keuangan AS dan Bank Dunia, IMF sepakat meluncurkan sebuah paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington.

Agenda pokok paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut dalam garis besarnya meliputi : (1) pelaksanan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya, (2) pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, (3) pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.

di Indonesia

Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997.

Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang (soal penjualan BUMN ini marak ketika era pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarno Putri).

di Amerika Serikat

Dalam penggunaan di Amerika Serikat, istilah neoliberalisme dihubungkan dengan dukungan untuk perdagangan bebas dan welfare reform, tapi tidak dengan tentangan terhadap Keynesianism atau environmentalism. Dalam konteks AS, misalnya, ekonom Brad DeLong adalah seorang neoliberal, walaupun ia mendukung Keynesi, income redistribution, dan pengritik pemerintahan George W. Bush. Dalam penggunaan AS, neoliberalisme ("liberalisme baru") biasanya dihubungkan dengan the Third Way, atau sosial-demokrasi di bawah gerakan New Public Management. Pendukung versi AS menganggap bahwa posisi mereka adalah pragmatis, berfokus pada apa yang dapat berhasil dan melebihi debat antara kiri dan kanan, walaupun liberalisme baru mirip dengan kebijakan ekonomi center-of-left (seperti halnya di Kanada di abad ke-20).

Kedua penggunaan ini dapat menimbulkan kebingungan. The overlapping of these usages can create considerable confusion. Dalam penggunaan internasional, presiden Ronald Reagan dan United States Republican Party dipandang sebagai pendukung neoliberalisme. Tapi Reagan tidak pernah digambarkan demikian dalam diskusi politik di AS, di mana istilah ini biasanya diterapkan pada Democrats seperti Democratic Leadership Council.

Kritik

Kritik terhadap neoliberalisme terutama sekali berkaitan dengan negara-negara berkembang yang aset-asetnya telah dimiliki oleh pihak asing. Negara-negara berkembang yang institusi ekonomi dan politiknya belum terbangun tetapi telah dikuras sebagai akibat tidak terlindungi dari arus deras perdagangan dan modal. Bahkan dalam gerakan neoliberal sendiri terdapat kritik terhadap banyaknya negara maju telah menuntut negara lain untuk meliberalisasi pasar mereka bagi barang-barang hasil industri mereka, sementara mereka sendiri melakukan proteksi terhadap pasar pertanian domestik mereka.

Pendukung antiglobalisasi adalah pihak yang paling lantang menentang neoliberalisme, terutama sekali dalam implementasi "pembebasan arus modal" tetapi tidak ada pembebasan arus tenaga kerja. Salah satu pendapat mereka, kebijakan neoliberal hanya mendorong sebuah "perlombaan menuju dasar" dalam arus modal menuju titik terendah untuk standar lingkungan dan buruh.

Jadi Isu Pilpres

Polemik soal ideologi ekonomi calon presiden semakin mengemuka. Salah satu yang mengemuka adalah tudingan Boediono sebagai penganut paham neoliberal. Kontroversi itu juga mengemuka dalam diskusi "Antara Neolib dan Ekonomi Kerakyatan" yang digelar oleh radio Trijaya FM di Jakarta, pada Sabtu, 23 Mei 2009.
Lagi-lagi, Boediono menjadi sumber perdebatan. Fuad Bawazier yang mewakili kubu Jusuf Kalla-Wiranto menilai Boediono sebagai penganut paham neoliberal. "Pemerintah sekarang lebih berpihak kepada pelaku pasar, termasuk rezim devisa bebas," ujar Fuad.
Tudingan Fuad dan sejumlah kalangan lainnya dibantah oleh Jafar Hafsah, tim sukses SBY-Boediono. "Saya bingung mengapa Boediono tiba-tiba dituding menjadi neoliberal," ujarnya.
Padahal, menurut dia, Boediono adalah seorang capres dan tokoh profesional.
Gaya hidup Boediono saja sudah terlihat sebagai sosok sederhana yang mencerminkan perilaku jauh dari neoliberal. "Inikan berbeda dengan orang yang mengaku Islam, tetapi gayanya tidak Islami," katanya.
Jafar heran mengapa yang didiskusikan hanya Boediono. Boediono, menurut dia, hanya seorang pegawai negeri yang profesional. "Mengapa bukan tentara atau pengusaha yang menjadi capres," kata dia.
Dia mengingatkan Wakil Megawati, Prabowo Subianto adalah seorang pengusaha. Begitu pula dengan Jusuf Kalla juga seorang pengusaha yang menjalankan praktek kapitalis. "Bukankah sebagai pengusaha justru menjadi pelaksana liberal."
Jafar mengungkapkan kedua pengusaha itu tidak ada latar belakang ekonomi rakyat. "Soal ekonomi kerakyatan, cuma ada di iklan," kata dia.

Sedangkan SBY, menurut dia, tidak benar pro pada pasar. Dia menunjukkan bukti bahwa SBY memberikan berbagai subsidi, seperti subsidi BBM, listrik, kesehatan, pendidikan dan lainnya.
"Subsidi paling besar justru diberikan selama SBY berkuasa," kata dia. Bahkan, pendidikan sebesar 20 persen. Begitupula dengan harga BBM. Menurut dia, soal kenaikan harga BBM bukan hanya dilakukan di jaman SBY. Tetapi, juga dilakukan di era Megawati dan Gus Dur. "Tetapi, penurunan harga baru dilakukan di era SBY."
.

Readmore »»

Sabtu, 23 Mei 2009

Mulai Lagi Dekati Kyai, Hasilnya? Mubasyaraoh

JELANG Pilpres Kyai dan santri jadi rebutan calon presiden dan wakil presiden. SBY dan JK pada kunjungannya di Jawa Timur sudah mulai bertemu dengan para kyai. Yang menarik para kyai itu hadir saat diundang SBY, dan dating juga saat acara JK.
Musim berebut kekuasaan seperti sekarang ini sosok kyai memang kembali menjadi laris manis. Mulai dari pemilihan kepala desa, kepala daerah, hingga pemilihan presiden. Pemilu Presiden 2009 ini, kyai pun tak tertinggal menjadi sasaran utama para capres untuk tebar pesona, tak terkecuali tebar ‘mubasyaroh’ alias uang saku.
Kyai dan politik sepertinya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan bangsa ini. Era kemerdekaan, para kyai turut andil tak kecil dalam menyumbangkan kemerdekaan.
Di era demokrasi pemilihan langsung era reformasi ini, peran kyai semakin menonjol. Setidaknya partai politik berbasis kyai dan santri tumbuh bermunculan. Indonesia bahkan pernah pula dipimpin seorang kyai dari NU, KH Abdurrahman Wahid alias Gud Dur yang juga mantan Ketua Umum PBNU.
Aura kyai memang mampu menyihir para elit politik yang berkeinginan melakukan mobilisasi vertikal (berkuasa). Ini bukan tanpa sebab. Kharisma yang dimiliki kyai serta pengikut yang banyak adalah muaranya. Karena, di basis pesantren seperti di Jawa Timur, satu pesantren memiliki ribuan santri. Hal tersebut menjadi penyumbang suara signifikan jika mampu mempengaruhi dan mengajak kyai yang juga diharapkan mampu mempengaruhi para santrinya.
Tak aneh jika menjelang pemilu presiden 2009, sejumlah kyai dan pesantren mendapat kunjungan para capres. Tak aneh pula jika menyaksikan kyai kini lebih sering berada di hotel mewah melakukan pertemuan dengan capres, bukan lagi di majelis taklim untuk mengaji.
Namun bukan tanpa soal jika pasca reformasi ini keterlibatan kyai dan ulama dalam politik praktis menimbulkan persoalan serius. Pasalnya, kunjungan para capres atau tokoh politik bukanlah kunjungan gratis. Mubasyaraoh alias memberi uang saku buat kyai menjadi tradisi yang melekat.
Yang jadi pertanyaan sekarang ini, apakah para kyai itu sekarang masih punya pengaruh yang kuat untuk mempengaruhi pikiran para santrinya? Untuk urusan agama, jawabnya Ya. Tapi untuk urusan politik, jawabnya bias Ya dan Tidak. Mungkin jawaban pastinya Tidak.Selama 10 tahun terakhir ini terjadi pergeseran peran kyai di mata masyarakat.
Jika urusannya politik sudah tidak lagi. Santri berpikir politik bukan domain kyai.
Contoh kasus pada Pilpres 2004 lalu, Hasyim Muzadi yang Ketua Umum PB NU dan jadi wapresnya Megawati Soekarnoputri, tidak mendapat suara yang signifikan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Padahal semua tahu Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan kandang NU.
Sepertinya, kyai saat ini dalam posisi demoralisasi. Harusnya mereka introspeksi kalau terus ingin menjaga umat. Jangan sampai membuat persepsi seolah-olah kyai bisa dibeli. Sekarang ini posisi kyai sudah pada taraf tidak bias dipercaya untuk urusan politik dan kekuasaan.
Merapatnya para capres ke sejumlah kyai dan pesantren harus dimanfaatkan untuk meminta wejangan moral dari para kyai. Inilah kesempatan bagi para kyai untuk mengembalikan nama baik mereka sebagai tokoh agama yang dekat dengan Tuhan.
Sekarang ini jangan lagi mengedepankan dukung mendukung melainkan bagaimana mereka memberikan wejangan kepada para capres itu berpolitik dengan etika mengutamakan kepentingan rakyat. Tidaklah haram bagi kyai untuk berpolitik. Namun, politik moral yang jauh lebih tepat daripada politik praktis dengan memihak pada satu kelompok. Politik nilai yang diperankan kyai harusnya terus dijaga sebagai kekuatan masyarakat sipil yang selalu mengingatkan para pemimpin dan mengawal kepentingan umat.Dan untuk yang satu ini para santri tampaknya jauh lebih mengerti di bandingkan para kyai. (*)
.

Readmore »»

Senin, 04 Mei 2009

The Winners is..................................................

Setelah Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, kini Mensesneg Hatta Radjasa mencoba merebut posisi calon wapres untuk mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono maju ke Pilpres 2009. Di antara kedua tokoh itu, siapa yang bakal memenangkan kursi RI-2 itu?

Baik Hidayat maupun Hatta memang telah memiliki pengalaman memimpin yang tak perlu diragukan. Dukungan dari partai politik yang selama ini membesarkan mereka pun sangat solid.

Hidayat diajukan sebagai cawapres berdasarkan suara bulat yang disepakati semua tokoh pengambil keputusan di Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sedangkan Hatta Radjasa didaulat berdasarkan keputusan semua elite Partai Amanat Nasional (PAN).

Sebagai parpol peserta Pemilu 2009 yang telah membuktikan perolehan suara secara signifikan, PKS maupun PAN seharusnya memang punya nilai tawar untuk mengajukan cawapres dalam koalisinya dengan partai mana pun. Maka tidaklah mengherankan bila keduanya berharap banyak dapat menempatkan kadernya di posisi terhormat di samping presiden.

Masalahnya, kedua kader terbaik parpol papan tengah ini bukan tanpa masalah. Hidayat misalnya, belakangan digoyang isu Wahabi yang sempat membuat Partai Demokrat gusar. Sementara Hatta dinilai tak memiliki gebrakan apa pun selama menjalankan tugasnya sebagai anggota kabinet, selain diragukan kemampuannya mengendalikan persoalan antarparpol di parlemen kelak.

Mengacu pada lima kriteria cawapres yang diajukan SBY, maka saya memprediksikan baik Hidayat Nur Wahid maupun Hatta Radjasa tak akan ada yang lolos jadi calon wapres pendamping SBY nanti. Mereka harus puas dengan catatan sejarah bahwa pernah diajukan oleh partainya sebagai kandidat cawapres. (*)
.

Readmore »»

Inspirationa Quotation

"The big secret in life is that there is no big secret. Whatever your goal, you can get there if you're willing to work".

(Oprah Winfrey, American TV host, media mogul, and philanthropist)

kartun united





FIrman Allah SWT

"Innal hasanaat tushrifna sayyiaat" (Sesungguhnya kebaikan akan mengalahkan kejahatan) - (Hud:114).

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP