Mulai Lagi Dekati Kyai, Hasilnya? Mubasyaraoh
JELANG Pilpres Kyai dan santri jadi rebutan calon presiden dan wakil presiden. SBY dan JK pada kunjungannya di Jawa Timur sudah mulai bertemu dengan para kyai. Yang menarik para kyai itu hadir saat diundang SBY, dan dating juga saat acara JK.
Musim berebut kekuasaan seperti sekarang ini sosok kyai memang kembali menjadi laris manis. Mulai dari pemilihan kepala desa, kepala daerah, hingga pemilihan presiden. Pemilu Presiden 2009 ini, kyai pun tak tertinggal menjadi sasaran utama para capres untuk tebar pesona, tak terkecuali tebar ‘mubasyaroh’ alias uang saku.
Kyai dan politik sepertinya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan bangsa ini. Era kemerdekaan, para kyai turut andil tak kecil dalam menyumbangkan kemerdekaan.
Di era demokrasi pemilihan langsung era reformasi ini, peran kyai semakin menonjol. Setidaknya partai politik berbasis kyai dan santri tumbuh bermunculan. Indonesia bahkan pernah pula dipimpin seorang kyai dari NU, KH Abdurrahman Wahid alias Gud Dur yang juga mantan Ketua Umum PBNU.
Aura kyai memang mampu menyihir para elit politik yang berkeinginan melakukan mobilisasi vertikal (berkuasa). Ini bukan tanpa sebab. Kharisma yang dimiliki kyai serta pengikut yang banyak adalah muaranya. Karena, di basis pesantren seperti di Jawa Timur, satu pesantren memiliki ribuan santri. Hal tersebut menjadi penyumbang suara signifikan jika mampu mempengaruhi dan mengajak kyai yang juga diharapkan mampu mempengaruhi para santrinya.
Tak aneh jika menjelang pemilu presiden 2009, sejumlah kyai dan pesantren mendapat kunjungan para capres. Tak aneh pula jika menyaksikan kyai kini lebih sering berada di hotel mewah melakukan pertemuan dengan capres, bukan lagi di majelis taklim untuk mengaji.
Namun bukan tanpa soal jika pasca reformasi ini keterlibatan kyai dan ulama dalam politik praktis menimbulkan persoalan serius. Pasalnya, kunjungan para capres atau tokoh politik bukanlah kunjungan gratis. Mubasyaraoh alias memberi uang saku buat kyai menjadi tradisi yang melekat.
Yang jadi pertanyaan sekarang ini, apakah para kyai itu sekarang masih punya pengaruh yang kuat untuk mempengaruhi pikiran para santrinya? Untuk urusan agama, jawabnya Ya. Tapi untuk urusan politik, jawabnya bias Ya dan Tidak. Mungkin jawaban pastinya Tidak.Selama 10 tahun terakhir ini terjadi pergeseran peran kyai di mata masyarakat.
Jika urusannya politik sudah tidak lagi. Santri berpikir politik bukan domain kyai.
Contoh kasus pada Pilpres 2004 lalu, Hasyim Muzadi yang Ketua Umum PB NU dan jadi wapresnya Megawati Soekarnoputri, tidak mendapat suara yang signifikan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Padahal semua tahu Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan kandang NU.
Sepertinya, kyai saat ini dalam posisi demoralisasi. Harusnya mereka introspeksi kalau terus ingin menjaga umat. Jangan sampai membuat persepsi seolah-olah kyai bisa dibeli. Sekarang ini posisi kyai sudah pada taraf tidak bias dipercaya untuk urusan politik dan kekuasaan.
Merapatnya para capres ke sejumlah kyai dan pesantren harus dimanfaatkan untuk meminta wejangan moral dari para kyai. Inilah kesempatan bagi para kyai untuk mengembalikan nama baik mereka sebagai tokoh agama yang dekat dengan Tuhan.
Sekarang ini jangan lagi mengedepankan dukung mendukung melainkan bagaimana mereka memberikan wejangan kepada para capres itu berpolitik dengan etika mengutamakan kepentingan rakyat. Tidaklah haram bagi kyai untuk berpolitik. Namun, politik moral yang jauh lebih tepat daripada politik praktis dengan memihak pada satu kelompok. Politik nilai yang diperankan kyai harusnya terus dijaga sebagai kekuatan masyarakat sipil yang selalu mengingatkan para pemimpin dan mengawal kepentingan umat.Dan untuk yang satu ini para santri tampaknya jauh lebih mengerti di bandingkan para kyai. (*).
0 komentar:
Posting Komentar