Rabu, 28 Januari 2009

Mudah-Mudahan Selamat dari Resesi

Beberapa negara memproyeksikan pertumbuhan ekonominya akan negatif pada 2009. Dana Moneter Internasional (IMF) juga menurunkan proyeksinya 0,8% menjadi 2,2% November 2008. Bagaimana dengan Indonesia? Negeri kita ini mungkin satu-satunya yang begitu optimistis perekonomiannya bisa tumbuh 3,5-4% pada 2009. Di bandingkan negara lain, Indonesia juga paling santai dalam menghadapi krisis ini. Jika sejumlah negara sudah mulai mengeluarkan berbagai stimulus untuk mengatasi kelesuan ekonominya, hingga kini stimulus yang dijanjikan pemerintah Indonesia masih dalam tahap wacana.
Entah mengapa? Apakah memang perekonomian kita sudah kuat ataukah ada maksud tertentu. Menjelang Pilpres dan kebetulan sang presiden dan wakilnya bakal maju lagi, meskipun belum pasti akan berpasangan lagi atau cerai, berita-berita positif harus di kedepankan untuk menimbulkan kesan bagus bagi pemerintah.
Dengan kata lain, kalau pemerintah sekarang ini tenang-tenang saja maka rakyat yang sebagian besar awam dengan hitung-hitungan pertumbuhan ekonomi percaya pembangunan selama ini berjalan dengan baik. Kalau kemudian pemerintah ikut-ikutan tidak tenang dengan bakal munculnya gelombang resesi, tentu akan berpengaruh buruk terhadap tingkat kepercayaan masyarakat kepada presiden dan wakil presiden yang bakal maju dalam Pilpres lagi.
Mudah-mudahan saja perekonomian kita memang kuat sehingga tahun 2009 yang diprediksi bakal lebih berat, benar-benar bisa dilewati bangsa kita dengan mulus. Kalau kemudian pemerintah tenang-tenang saja, karena maksudnya agar timbul kesan baik saat Pilpres nanti, mudah-mudahan hitungan mereka itu tepat sehingga kita benar-benar lolos dari badai resesi 2009.
Sebagai gambaran umum, untuk ketiga kalinya IMF terpaksa mengoreksi pertumbuhan ekonomi dunia. Oktober tahun lalu, lembaga keuangan internasional itu masih optimistis perekonomian dunia di 2009 akan tumbuh sebesar 3%.
Namun dengan semakin memburuknya perekonomian dunia, IMF akhirnya menurunkan proyeksinya 0,8% menjadi 2,2% November 2008, dan akhir Januari ini kembali dikoreksi menjadi tinggal 1,5%.
Koreksi itu terpaksa dilakukan setelah sejumlah negara kembali mengkoreksi tingkat pertumbuhan ekonomi mereka. Eropa, yang selama ini dianggap sebagai pusat peradaban dunia, tahun ini diperkirakan hanya akan tumbuh 0,2%.
Irlandia dan Italia merupakan negara yang paling menderita. Kedua negara ini sudah memasuki masa resesi dengan pertumbuhan minus 1,8% dan minus 1%. IMF memperkirakan, perekonomian Eropa baru akan pulih dua tahun mendatang dengan pertumbuhan ekonomi 1,4%.
Penurunan suku bunga, kebijakan bailout (dana talangan), dan paket stimulus yang diluncurkan sejumlah negara di kawasan Eropa dianggap belum cukup untuk mengatasi krisis ekonomi.
Karena itu, mereka menyerukan agar diadakan pertemuan global untuk mengatasi krisis. Satu-satunya sinyal yang masih memberikan harapan adalah menurunnya nilai tukar Euro dan tingkat inflasi akibat melemahnya daya beli masyarakat.
Resesi yang mulai menimpa sejumlah negara jelas akan memukul ekspor dari negara berkembang seperti Malaysia. Negeri jiran ini memperkirakan perekonomiannya akan melambat hingga minus 1%.
Lebih parah lagi Singapura. Tahun ini, negara yang perekonomiannya sangat tergantung dari perdagangan dunia itu akan mengalami resesi akibat perekonomiannya diperkirakan melambat minus 11% hingga minus 12%.
Sementara Indonesia yang belum sejahtera seperti sekarang ini justru berani mematok pertumbuhan 3,5-4 %, entah dari mana angka-angka itu. Yang pasti sekali lagi mudah-mudahan prediksi itu benar, artinya kita memang benar-benar siap dan tidak terpengaruh dengan badai resesi di Tahun Kerbau ini. (*)
.

Readmore »»

Selasa, 27 Januari 2009

Pilgub Jatim: Curang...Tidak...Curang...Tidak...

Hidup akan selalu terasa bahagia dan nikmat apabila kita dapat menerima dan menghadapi segala sesuatu sebagaimana adanya, hidup dalam tiap detik yang dilaluinya, tidak terapung dalam keriangan masa lalu atau tenggelam dalam harapan masa datang. Hidup adalah saat ini, sekarang ini, bukan kemarin dan bukan esok.
Pikiran selalu mempermainkan kita, membentuk kenangan-kenangan masa lalu dengan segala suka-dukanya, membuat kita selalu mengejar kenangan, suka dan menjauhi kenangan duka, menciptakan corak dan bentuk hidup sekarang dan yang akan datang sehingga kita dibuatnya hidup seperti dalam kurungan yang dibuat oleh pikiran kita sendiri. Hidup seperti itu membuat segala langkah kita tidak wajar lagi, melainkan langkah-langkah kita sudah ditentukan dan diatur berdasarkan pengalaman lalu, berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan yang sudah terbentuk dalam pikiran kita. Keadaan seperti itu tidak memungkinkan kita bebas, tidak memungkinkan kita mempergunakan mata dan telinga seperti sewajarnya. Apa yang terpandang, apa yang terdengar, ditutup oleh pendapat dan prasangka, oleh penilaian yang kesemuanya adalah pekerjaan pikiran, sehingga mata dan telinga kita tidak dapat melihat atau mendengar keadaan sebenamya dari yang dipandang dan didengar! Kalau kita memandang sesuatu, yang kita pandang sesungguhnya bukanlah itu atau dia, melainkan itu atau dia seperti yang terbayang dalam ingatan kita!
Demikian pula dengan kekuasaan. Kalau kita menghadapi sesuatu, dalam hal kekuasaan seperti pada saat itu, tanpa campur tangan si pikiran yang selalu dapat saja menciptakan kenang-kenangan akan kekuasaan, maka tidak ada lagi penilaian apakah kekuasaan yang akan kita dapatkan atau perjuangkan bermanfaat untuk orang banyak atau untuk diri kita sendiri.
Pengalaman-pengalaman yang ada selama ini mempertebal keyakinan kita bahwa manusia menjadi kejam karena kekuatannya. Makin kuat manusia, makin kejamlah dia, makin sewenang-wenang karena merasa berkuasa. Kalau begitu, apakah lebih baik menjadi orang lemah dan tidak memiliki kepandaian? Orang yang lemah hanya akan menjadi injakan yang kuat. Orang lemah mengalah karena tidak dapat melawan, dan yang demikian itu bukan mengalah namanya, melainkan pengecut. Yang kuat kejam, yang lemah pengecut! Pengecut demikian, kalau diberi kekuatan, diberi kekuasaan, tentu akan berubah menjadi orang kejam juga. Si kuat kejam dan si lemah pengecut tiada bedanya, keduanya adalah orang-orang yang belum mengenal dirinya, belum mengenal keadaan sebenarnya.
Kalah-menang itu adalah hal yang biasa, karena kalau sekarang kalah mungkin nanti bisa menang, demikian juga sebaliknya sekarang menang suatu saat pasti kalah. Tapi kalah menang akan jadi tidak biasa bila itu dikaitkan dengan kekuasaan.
Orang yang kalah pasti tidak akan terima, karena suatu saat dia belum tentu menang dan yang menang tentu akan mempertahankan kemenangannya, karena soal kekuasaan berbeda dengan kalah menang di olahraga. Kekuasaan, politik, atau berkuasa itu sebenarnya indah dan ada seninya, semua itu bisa menjadi kotor, culas dan tidak jujur karena manusianya.
Kalau kemudian yang kalah merasa dicurangi sementara yang menang merasa tidak bermain curang, itu juga hal biasa. Namanya manusia pasti tidak punya rasa puas, karena manusia yang punya rasa puas berarti dia mati.
Berkaca dari arena Pilgub Jatim, kekuasaan, kepuasan, dan kecurangan berada dalam satu jalur. Siapa yang berbuat curang, atau berbuat curang seolah-olah dicurangi, tidak jelas. Yang pasti untuk urusan kekuasaan tidak ada manusia jujur di dunia ini. Karena manusia jujur tidak akan berani berebut kekuasaan. Siapa yang teriak-teriak dicurangi belum tentu dia juga tidak curang karena curang sedikit curang banyak tetap saja curang, dan ini sebenarnya biasa untuk mengejar kekuasaan. Siapa yang teriak tidak curang, belum tentu memang dia tidak curang.
Sekali lagi banyak pelajaran yang didapat dalam hidup ini, pada skala kecil...ya dari Pilgub Jatim. Utamanya soal politik dan kekuasaan. Manusia sebagai makhluk politik selalu haus dan lapar akan kekuasaan. Ironisnya rakyat selalu dijadikan bemper dan alat...Demi Rakyat. Benar-salah, jujur-curang sangat tipis di politik, bukan politiknya yang salah tapi manusia-manusianya. Karena manusia memang selalu haus dan lapar terhadap segala hal termasuk KEKUASAAN. (*)
.

Readmore »»

Senin, 26 Januari 2009

TAHUN KERBAU TANAH, KERJA...KERJA...KERJA...


By Kafi Kurnia
Dalam hari-hari menjelang tahun baru 2009, saya di interview beberapa wartawan. Topiknya tentang prediksi dan ramalan bisnis di tahun 2009. Kepada mereka saya mengutarakan prediksi yang optimis dan positif-positif saja. Umumnya mereka tertawa, menganggap ramalan saya hanya gertakan untuk memotivasi sikap semua orang agar tetap punya harapan menghadapi “kemungkinan masa-masa sulit 2009”. Karena opini publik dan berita dikoran akhir-akhir ini semuanya sangat suram dan juga negatif semua. Terus terang hati saya jadi tidak tentram. Menghadapi sekian banyak enerji negatif disekeliling saya.


Komikus Bill Keane pernah berkata : “Yesterday’s the past, tomorrow’s the future, but today is a gift. That’s why it’s called the present.” Satu kalimat favorite saya, yang selalu manjur bilamana saya sedang menghadapi hari yang sangat panjang dan melelahkan. Sentakan semangat yang ampuh ! Karena selama masih ada hari esok, berarti masih ada harapan. Bahwa hari esok masih bisa diperjuangkan menjadi lebih baik. Secara spiritual ini bukan teori yang biasa anda dapatkan di buku-buku dan seminar motivasi. Secara spiritual saya sendiri sudah pernah mengalaminya secara nyata. Kejadian-nya ketika saya masih menjadi mahasiswa, dan sedang getol mencari jati diri saya. Saat itu, entah siapa yang menurunkan wangsit, saya dipertemukan dengan seorang guru ZEN. Usianya sudah sangat lanjut. Lahir dan besar di Vietnam, lalu mengungsi ke Australia setelah perang Vietnam. Beliau bercerita tentang masa-masa tersulit hidupnya. Masa kecil dari keluarga petani yang sangat miskin. Mencoba “survive” dari perang. Menjadi “boat people”. Hingga akhirnya menjadi imigran di Australia, dan sejuta pengalaman pahit ketika beradaptasi hidup di kota besar seperti Sydney. Mulai dari belajar bahasa Inggris hingga mencari pekerjaan.

Diakhir diskusi kami, beliau membungkuk dan mengambil sebuah kerikil. Kata beliau, “Kakek saya pernah berkata kepada saya. ‘Lihatlah disekeliling-mu. Tuhan tidak menempatkan batu-batu besar disekeliling-mu. Tetapi cuma kerikil yang berserakan dimana-mana. Hidup ini, kita harus belajar memanfaatkan kerikil disekeliling kita. Ia ada dimana-mana dan jumlahnya banyak sekali’. Artinya rejeki, kesempatan, dan peluang diberikan Tuhan setiap hari kepada kita. Cuma tidak dalam bentuk yang sangat besar seperti hadiah kena lotere yang mendadak. Kadang saking kecilnya kerikil itu, kita seringkali meremehkan dan menganggap sepele”.

Percakapan hari itu, menjadi pengalaman spiritual yang sangat berkesan bagi saya. Yang membuat saya selalu percaya kepada keajaiban hari esok. Buat saya, hari esok selalu menjadi tantangan yang asyik. MAKE IT BETTER ! ALWAYS ! Kini apapun yang terjadi, saya selalu tau dan yakin, bahwa disekeliling saya banyak kerikil yang bisa kita gunakan dan manfaatkan. Asalkan jeli mencari dan menggunakan-nya.

Namun, bilamana anda iseng dan penasaran, ingin melihat tahun 2009 dari kaca mata yang berbeda. Maka tahun 2009 juga membuka pintu rejeki, kesempatan dan peluang yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Secara penanggalan Cina, mulai tanggal 26 Januari 2009 kita akan memasuki tahun baru, dibawah bayang-bayang tahun kerbau. Penanggalan Cina yang memiliki 12 tanda horoscope hewan, mengalami satu putaran setiap 12 tahun sekali sesuai dengan tanda horoscope masing-masing. Namun dengan lima elemen alam metal, kayu, air, api, dan bumi yang dikenal dengan “Wu Xing” atau The Five Cardinal Point, maka putaran besar itu terjadi setiap 60 tahun sekali. Tahun lalu dalam SEMINAR MARKETING ALA FENG-SHUI bersama BISNIS INDONESIA dipermulaan tahun, saya sudah mengingatkan tentang perubahan pusaran enerji yang akan berkaca dengan resesi yang terjadi 60 tahun yang lalu yaitu tahun 1948 sehabis perang Dunia ke II. Tahun 1949 merupakan tahun kerbau yang sangat penting dan membuktikan sejumlah peristiwa penting akibat arus balik. Di tahun ini NATO lahir, demekian juga Jerman resmi terbelah dua, dengan masing-masing sisi memproklamirkan diri. Tahun 1949, adalah tahun berdirinya Republik Rakyat Cina, dan tahun Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Negara lain yang merdeka di tahun yang sama adalah Vietnam, dan SIAM berganti nama menjadi Thailand. Dan merupakan tahun penting ditemukannya sejumlah obat antibiotik.

Ketika tahun tikus 2008 mulai beredar pada tanggal 7 Pebruari 2008, sejumlah tanda sudah nampak dipermukaan. Dunia terguncang, ketika pada Jumat 25 Januari 2008, pasar saham dunia merosot tajam, menunjukan tanda-tanda ‘meltdown’. Index saham BSE di India turun 10%, DAX Jerman jatuh 14%, HSI Hong Kong merosot 9% dan SSE Shanghai terjun bebas 10%. Semua orang dan media mulai berteriak satu kata yang menakutkan global resesi. Beberapa bank besar di Amerika, juga menghapus hutang tak tertagih dalam jumlah yang fenomenal. Merrill Lynch 22.4 milyar dollar, Citigroup 19.9 milyar dollar, dan UBS 14,4 milyar dollar. Hanya saja tanda-tanda itu tidak kita abaikan sehingga berlanjut pada situasi yang lebih runyam.

Tahun kerbau 2009, memiliki enerji yang berbeda. Kerbau yang dikenal tangguh dan memiliki kegigihan yang bersemangat baja dipercaya akan menstabilkan situasi dan memberikan fundamental yang lebih baik. Bila kita bercermin dengan situasi yang mirip dalam siklus 60 tahun tadi, maka tahun 1949 dikenal sebagai tahun enerjik yang juga perlahan-lahan menghapus resesi. 2009 berpeluang memunculkan kekuatan-kekuatan baru yang telah terbukti tahan uji. Tahun kerbau 2009, adalah tahun tanah atau bumi, dan keterdekatan kerbau dengan bumi akan menciptakan sinerji yang lebih baik, terutama buat bisnis-bisnis yang dekat dengan elemen bumi dan atau tanah seperti agribisnis dan properti.

Yang menarik, pemimpin top dunia seperti : Napoleon Bonaparte, Adolph Hitler, Saddam Hussien, semuanya lahir di tahun kerbau. Demikian juga, Princess Diana, Margaret Thatcher, dan Richard Nixon. Dan menariknya juga Barack Obama dilahirkan di tahun kerbau. Anda yang membaca fenomena ini mungkin akan menyiratkan bahwa tahun 2009, akan memunculkan pemimpin-pemimpin baru dengan kekuatan baru. Jadi semoga saja Barck Obama sukses membawa enerji positif di Amerika Serikat secepat mungkin. Semoga pula tahun 2009, setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional, di Indonesia akan muncul generasi pemimpin baru yang akan mensejahterakan dan memakmurkan Indonesia.

Seniman dan pelawak dunia legendaris, juga banyak yang ber-shio kerbau. Misalnya, Peter Sellers, Charlie Chaplin, Bill Cosby, Walt Disney, Picasso, Vincent Van Gogh. Ini sentilan penting, jangan berani menganggap kerbau itu kelihatan mahluk lambat, yang membosankan dan tidak memiliki imajinasi. Kekuatan kerbau bukan semata di otot tetapi justru di saraf intelegensia, dan kualitas pemikiran. Tahun 2009 sebaiknya anda juga menyiasati hal yang sama. Menang adu pintar dan bukan menang adu otot (he…he…he….).

Aktor dan aktris film yang bershio kerbau, lebih maut lagi daftarnya, Clark Gable, Rock Hudson,Dustin Hoffman, Anthony Hopkins, Paul Newman, Jack Nicholson, Robert Redford, Jane Fonda,Meryl Streep, Sigourney Weaver, Richard Gere, Meg Ryan, Whoopi Goldberg, George Clooney, Keira Knightley, dan Kate Beckinsale. Hampir semuanya adalah aktor dan aktris pemain watak yang dahsyat. Jadi disamping harus penuh imajinasi dan cerdas, tahun 2009 membutuhkan kekuatan karakter dan kepribadian yang sangat kuat sekali.

Hanya saja raksasa ASIA seperti China, India, dan sebagian Rusia diramalkan punya potensi mengalami kerusakan yang lebih masif. Sehingga enerji negatifnya bisa berimbas kencang sekali ke ASEAN, termasuk Indonesia. 2009 adalah tahun tantangan buat Indonesia. Menurut Mpu Peniti, ditahun pemilu yang bakal sarat dengan persaingan dan kompetisi politik, tegangan emosi cenderung tinggi sekali. Kerbau memang kalem, tetapi kalau sudah ngamuk, maka kerusakannya bisa sangat merugikan sekali. Dan menjaga agar semua bisa kalem dan tidak terpancing emosi, memerlukan ‘leadership’ yang luar biasa. Secara karakter, kebetulan sekali SBY itu juga lahir dibawah shio kerbau. Tapi mampukah SBY menjadi lokomotif baru yang menciptakan kestabilan itu di tahun 2009 ? Dan pemimpin yang akan memakmurkan Indonesia ke sebuah era yang baru ? Kita lihat saja nanti ! Yang penting saya tetap optimis buat 2009 ! (diambil dari radioclinic.com)
.

Readmore »»

Rabu, 21 Januari 2009

Obama Dilantik, Koq Kita Yang Ribut

Barack Obama telah resmi menjadi presiden Amerika Serikat ke-44 setelah diambil sumpahnya oleh Ketua Mahkamah Agung John Roberts di the National Mall, Washington, Selasa (20/1). Tak hanya upacara pelantikannya yang luar biasa yang dihadiri jutaan orang. Seluruh dunia, termasuk kita yang di Indonesia juga ikut heboh. Bayangkan hampir seluruh stasiun televisi di Indonesia menyiarkan secara langsung acara pelantikan plus pidato politik pertama Obama plus dibumbui dengan dialog-dialog, diterjemahkan langsung, dan ada yang menerjemahkan lewat teks meskipun sepotong-sepotong. Koq kita ikut-ikut ribut? Apa Presiden SBY tidak tersinggung?

Seperti yang Saya duga, seperti para pendahulunya Obama tidak berani melakukan kritik terhadap Israel. Obama memang menyebut akan menjalin hubungan baru yang lebih baik dengan umat Muslim. Ia juga berjanji akan menarik pasukan dari Afganistan dan Irak. Serta menyatakan akan memerangi terorisme dan akan segera menutup penjara konsentrasi Guantanamo, di Kuba.
Namun, ia tidak menyingung sama sekali mengenai kebijakan AS atas krisis kemanusiaan di Gaza, Palestina, yang terjadi akibat agresi Israel. Padahal, seluruh dunia telah menantikan langkah yang akan diambil negara Adidaya itu terhadap sekutu terdekatnya Israel di bawah kepemimpinan presiden kulit hitam pertama AS.
Berbeda dengan para pendahulunya yang mengisi pidato politik pertamanya dengan retorika yang muluk-muluk. Pidato Obama adalah kesederhanaan, spirit, dan sikap saling menghargai. Memang hanya dengan ‘senjata’ seperti itulah Obama dapat mengembalikan Amerika sebagai pemimpin dunia.
Berbeda dengan Bush yang kerap mengedepankan moncong senjata dan rudal untuk menguasai dunia, Obama akan mencoba membawa Amerika memasuki babak baru sebagai negara adikuasa yang bisa merangkul semua negara di dunia melalui kewibawaan dan saling menghormati.
Obama yakin hanya dengan sikap itulah Amerika dapat menjadi pemimpin dunia lagi, karena bagaimanapun dengan kekuatan ekonomi, persenjataan dan teknologi canggihnya, tapi tanpa dilandasi oleh spirit of America yang menampung umat manusia dari semua golongan, semua yang dimiliki itu akan sia-sia karena Amerika hanyalah akan menjadi raksasa yang terkucil.
Itu tercermin dari pidato Obama seusai diambil sumpahnya sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat. Dengan tangan kiri diletakkan di atas Injil yang pernah digunakan mantan presiden Abraham Lincoln saat dilantik sebagai presiden AS ke-16, di hadapan jutaan rakyat Amerika yang menyaksikan peristiwa bersejarah itu, Obama ingin melanjutkan cita-cita Martin Luther King Jr. tentang kesetaraan ras.
Semangat itu pula yang akan melandasinya dalam menjalankan kebijakan memimpin Amerika dan dunia. Presiden berusia 47 tahun itu juga mengatakan bahwa Amerika akan menjadi teman bagi semua negara. Ia juga akan berupaya memperbaiki hubungan Amerika dengan negara-negara Islam, yang belakangan semakin memburuk menyusul serangan teroris pada 11 September 2001 lalu.
Namun, Amerika adalah Amerika dan Obama tetaplah pemimpin sebuah negara super kuat. Jadi, meskipun Amerika di bawah Obama adalah Amerika yang lembut, tapi Obama tidak akan membiarkan negara-negara yang berusaha menyerang Paman Sam. Ia akan menyerang balik negara itu dengan kekuatan Amerika.
Pernyataan itu sebagai penegasan bahwa tudingan sebagian kalangan bahwa Obama adalah presiden yang lembek adalah salah besar. Obama adalah tetap seorang pemimpin negara adikuasa yang tidak akan rela negaranya diganggu negara lain.
Tetapi Amerika di bawah Obama akan menjadi Amerika yang baru, yaitu Amerika yang kuat tetapi tetap bersahabat. Hal inilah yang ia sampaikan kepada rakyat Amerika melalui pidato pelantikannya. Bahkan saat memulai pidatonya, suami Michelle itu dengan rendah hati meminta rakyat Amerika untuk bangkit mengatasi segala permasalahan yang menjerat perekonomian terbesar dunia itu. Karena hanya dengan kerja keras dan bahu membahu cita-cita Amerika baru itu akan terwujud.
Berbeda degan pidato pelantikan presiden yang biasanya penuh ‘bunga-bunga’ dan janji, pidato Obama ini lebih tercermin sebagai ajakan kepada rakyat Amerika untuk bangkit kembali, untuk bersemangat lagi, karena ia sudah menyiapkan segalanya untuk mendukung kerja keras dan semangat rakyatnya.
“Hari ini saya mengatakan kepada Anda semua bahwa tantangan yang kita hadapi adalah nyata. Tantangan itu serius dan jumlahnya banyak. Tantangan itu tak mudah diatasi atau diselesaikan dalam waktu singkat. Tapi ini adalah bangsa Amerika – mereka akan dapat mengatasi tantangan itu semua,” kata Obama yang disambut teriakan Yes We Can, Yes We Can.
Memang benar, pidatonya itu jauh dari kesan pidato politik yang biasanya hanya penuh retorika. Boleh dibilang pidato Obama itu bukan sebagai pidato, tetapi lebih sebagai permohonan atau ajakan kepada rakyatnya bahwa Amerika kini menghadapi masalah yang begitu besar dan sulit, sehingga tanpa dukungan dari seluruh rakyat Amerika, perubahan yang selalu didengungkan saat pemilu lalu hanyalah omong kosong belaka. Mengapa itu dilakukan?
Ajakan itu dilakukan karena Obama sendiri telah menyiapkan amunisinya yang siap untuk digunakan, yaitu tim ekonomi yang kuat dan paket stimulus maha besar senilai hampir US$ 1 triliun, yang cukup untuk menciptakan 4 juta lapangan pekerjaan melalui pembangunan sektor infrastruktur. Sekarang tergantung pada rakyat Amerika sendiri, apakah mereka memang ingin berubah. Kalau memang ingin berubah, mereka cuma butuh kerja keras dan bergotong royong, karena Obama telah menyiapkan segalanya bagi rakyatnya demi mengembalikan Paman Sam sebagai pemimpin dunia dan bukan polisi dunia.
“Pertanyaan yang kita ajukan saat ini bukanlah apakah pemerintahan kita terlalu besar atau terlalu kecil, tapi bagaimana pemerintahan itu bekerja,” ujar Obama. Dari semua itu, kita hanya berharap munculnya Amerika baru yang menjadi sabahat bagi semua.
Mampukah Obama memenuhi janji-janjinya itu? Bagi kita memang tidak penting yang jelas Amerika tetap Amerika, sebuah negara yang sebenarnya bisa disebut predator. Sebuah negara yang menyebut dirinya sebagai polisi dunia, membersihkan kejahatan yang menurut mereka kejahatan tapi sebenarnya bukan sebuah kejahatan bagi negara lain. Kalau tidak cocok dengan Amerika, maka semua tidak benar. Itulah Amerika, kita tidak perlu bangga dengan Obama yang pernah sempat nunut hidup di Jakarta. (*)
.

Readmore »»

Minggu, 18 Januari 2009

Israel's War of Deceit, Lies and Propaganda

By Uri Avnery

January 12 "Gulf Times" -- - -Nearly 70 years ago, in the course of the Second World War, a heinous crime was committed in the city of Leningrad. For more than a thousand days, a gang of extremists called "the Red Army" held the millions of the town's inhabitants hostage and provoked retaliation from the German Wehrmacht from inside the population centres.

The Germans had no alternative but to bomb and shell the population and to impose a total blockade, which caused the death of hundreds of thousands.

Some time before that, a similar crime was committed in England. The Churchill gang hid among the population of London, misusing the millions of citizens as a human shield. The Germans were compelled to send their Luftwaffe and reluctantly reduce the city to ruins. They called it the Blitz.

This is the description that would now appear in the history books - if the Germans had won the war.

Absurd? No more than the daily descriptions in Israeli media, which are being repeated ad nauseam: the Hamas "terrorists" use the inhabitants of Gaza as "hostages" and exploit the women and children as "human shields", they leave Israel no alternative but to carry out massive bombardments, in which, to Israel's deep sorrow, thousands of women, children and unarmed men are killed and injured.

In this war, as in any modern war, propaganda plays a major role. Almost all the Western media initially repeated the official Israeli propaganda line. They almost entirely ignored the Palestinian side of the story, not to mention the daily demonstrations of the Israeli peace camp. The rationale of the Israeli government ("The state must defend its citizens against the Qassam rockets") has been accepted as the whole truth. The view from the other side, that the Qassams are a retaliation for the siege that starves the one and a half million inhabitants of the Gaza Strip, was not mentioned at all.

Only when the horrible scenes from Gaza started to appear on Western TV screens, did world public opinion gradually begin to change.

War - every war - is the realm of lies. Whether called propaganda or psychological warfare, everybody accepts that it is right to lie for one's country. Anyone who speaks the truth runs the risk of being branded a traitor. The trouble is that propaganda is most convincing for the propagandist himself. And after you convince yourself that a lie is the truth and falsification reality, you can no longer make rational decisions.

Falsification

An example of this process surrounds the most shocking atrocity of this war so far: the shelling of the UN Fakhura school in Jabaliya refugee camp.

Immediately after the incident became known throughout the world, the army "revealed" that Hamas fighters had been firing mortars from near the school entrance. As proof they released an aerial photo which indeed showed the school and the mortar. But within a short time the official army liar had to admit that the photo was more than a year old. In brief: a falsification.

Later the official liar claimed that "our soldiers were shot at from inside the school". Barely a day passed before the army had to admit to UN personnel that that was a lie, too. Nobody had shot from inside the school, no Hamas fighters were inside the school, which was full of terrified refugees.

But the admission made hardly any difference anymore. By that time, the Israeli public was completely convinced that "they shot from inside the school", and TV announcers stated this as a simple fact.

So it went with the other atrocities. Every baby metamorphosed, in the act of dying, into a Hamas "terrorist". Every bombed mosque instantly became a Hamas base, every apartment building an arms cache, every school a terror command post, every civilian government building a "symbol of Hamas rule". Thus the Israeli army retained its purity as the "most moral army in the world".

The truth is that the atrocities are a direct result of the war plan. This reflects the personality of Ehud Barak - a man whose way of thinking and actions are clear evidence of what is called "moral insanity", a sociopathic disorder.

The real aim (apart from gaining seats in the coming elections) is to terminate the rule of Hamas in the Gaza Strip. In the imagination of the planners, Hamas is an invader which has gained control of a foreign country. The reality is, of course, entirely different.

A top priority for the planners was the need to minimise casualties among the soldiers, knowing that the mood of a large part of the pro-war public would change if reports of such casualties came in. That is what happened in Lebanon Wars I and II.

This consideration played an especially important role because the entire war is a part of the election campaign. The planners thought that they could stop the world from seeing these images by forcibly preventing press coverage. But in a modern war, such a sterile manufactured view cannot completely exclude all others - the cameras are inside the strip, in the middle of the hell, and cannot be controlled. Al Jazeera broadcasts the pictures around the clock and reaches every home.

Hundreds of millions of Arabs from Mauritania to Iraq, more than a billion Muslims from Nigeria to Indonesia see the pictures and are horrified. This has a strong impact on the war. Many of the viewers see the rulers of Egypt, Jordan and the Palestinian National Authority as collaborators with Israel in carrying out these atrocities against their Palestinian brothers.

If the war ends with Hamas still standing, bloodied but unvanquished, in face of the mighty Israeli military machine, it will look like a fantastic victory, a victory of mind over matter.

What will be seared into the consciousness of the world will be the image of Israel as a blood-stained monster, ready at any moment to commit war crimes and not prepared to abide by any moral restraints. This will have severe consequences for our long-term future, our standing in the world, our chance of achieving peace and quiet.

In the end, this war is a crime against Israelis too, a crime against the State of Israel.

Uri Avnery is an Israeli writer and peace activist with Gush Shalom. He is a contributor to Counter Punch's book 'The Politics of Anti-Semitism' .
.

Readmore »»

Selasa, 13 Januari 2009

Implikasi Operasi Cast Lead Israel di Gaza


Oleh: Kapten Inf Kukuh Suharwiyono, B.S.*, Kontributor TANDEF

Konflik yang terjadi antara Israel dan Hamas sebenarnya telah terjadi
sejak puluhan tahun yang lalu. Hal ini semakin meruncing ketika Hamas
berhasil menguasai pemerintahan di Gaza melalui kudeta berdarah pada
Juni 2007. Gesekan antara kelompok garis keras Hamas dan Israel tidak
dapat dihindarkan hingga dicapai perjanjian 6-bulan gencatan senjata
yang berakhir pada 26 Desember 2008 lalu.

Momentum berakhirnya gencatan senjata ini dipandang Israel sebagai
awal strategis untuk menghancurkan kekuatan Hamas sampai ke akar-
akarnya. Seminggu sebelum gencatan senjata berakhir, Israel
menghentikan seluruh suplai makanan dan kebutuhan pokok lain yang
masuk ke Gaza di sepanjang jalur pantai dan darat. Hal ini menimbulkan
shortage logistik masyarakat Gaza umumnya dan pihak Hamas khususnya.
Hamas pun menjawab strategi Israel dengan menekan balik melalui
peningkatan aktivitas serangan roket ke Israel. Suatu reaksi yang
memang diharapkan oleh Israel sebagai pembenaran serangan balik Israel
ke Jalur Gaza. Sebuah sumber Departemen Pertahanan Israel yang tidak
mau disebutkan namanya berkata, "Kelihatannya operasi militer Israel
akan dimulai dengan serangan udara untuk melawan peluncuran roket dan
dilanjutkan dengan invasi darat." 1

Momentum ini juga sengaja dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh Israel yang
mencalonkan diri sebagai Perdana Menteri untuk menaikkan popularitas
pada pemilihan umum tanggal 10 Februari 2009 nanti. Termasuk Menteri
Luar Negeri Tzipi Livni dan Menteri Pertahanan Ehub Barak yang saat
ini posisinya sangat tidak menguntungkan karena tekanan Benjamin
Netanyahu untuk mengambil langkah secepatnya terhadap keamanan Israel.
Namun, Livni lebih pandai dalam mengambil kesempatan. Dialah orang
Israel pertama yang menyatakan akan menyerang Hamas. Padahal, Ehud
Barak sebagai Menhan seharusnya yang paling berkesempatan mengambil
peluang ini.

Ketidakmampuan Ehud Barak bertindak cepat bukanlah tidak beralasan.
Setidaknya ada 3 alasan penting mengapa dia terlambat bersikap
dibandingkan dengan Menteri Luar Negeri dalam menyatakan perang
melawan Hamas. Pertama, moril tentara Israel masih rendah karena ekses
kekalahan perang musim panas 2006 di Lebanon sungguh diluar perkiraan
Israel, dimana ratusan personel dan tank Markava IDF (Israeli Defence
Force) diluluhlantakkan Hezbollah. Kedua, kekhawatiran yang besar juga
menyelimuti warga sipil dan personel IDF karena saat ini secara de
facto Israel masih memiliki konflik dengan 3 negara besar di jazirah
Arab; Iran, Syria, dan Lebanon dalam hal ini Hezbollah. Apabila Israel
membuka front dengan Hamas di perbatasan selatan, bukan tidak mungkin
Hezbollah, Iran dan Syria akan ikut membantu Hamas karena mereka
memiliki keterkaitan emosional dan politik. Ketiga, Ehud Barak kurang
percaya akan kemampuan Israel dalam mengambil keputusan pelik. Hal ini
terjadi pada kasus pembebasan seorang prajurit Israel bernama Gilead
Shalit yang telah ditahan oleh tentara Hamas lebih dari dua tahun.
Barak lebih memilih jalan diplomasi lewat Mesir daripada melakukan
negosiasi langsung antara Israel-Hamas .2

Serangan Udara Tidak Membawa Hasil

Serangan udara selama 5 hari yang dimulai tanggal 27 Desember 2008
dengan menggunakan pesawat F-16 dan helikopter Apache ternyata tidak
sesuai harapan. Tujuan Israel untuk "mengembalikan keamanan di
Selatan" dengan satu cara, yaitu menghentikan penembakan (roket) Hamas
ke Israel belum tercapai. Hamas masih mampu menembakkan sekitar 70
roket ke Israel dalam satu hari walaupun serangan udara dipergencar
dan lebih intensif dibanding perang melawan Hezbollah 2006. Bahkan
bisa dikatakan serangan udara Israel gagal, seperti pernyataan Jeffrey
White, seorang peneliti Washington Institute for Near East Policy
(WINEP) sekaligus mantan analis Defense Intelligence Agency,
"penggunaan angkatan udara Israel mampu menekan kemampuan Hamas untuk
melakukan serangan balik, namun akibat yang dihasilkan oleh Israel
juga dibawah pencapaian yang seharusnya bisa dipenuhi." 3

Keputusan melakukan invasi darat pada Operation Cast Lead ini sempat
menjadi perdebatan besar dan keraguan bagi kalangan ahli militer
Israel. Beberapa ahli militer mengatakan bahwa jika Israel ingin
melakukan invasi darat in full scale operation maka Israel harus
menyiapkan setidaknya 10.000 personel. Untuk itu, 6500 tentara
cadangan dikerahkan dalam rangka memperkuat IDF melakukan serangan
darat. Pertimbangan kedua adalah pengalaman perang 2006 dengan
Hezbollah membuktikan bahwa serangan darat akan beresiko tinggi jika
Hamas, yang memiliki roket sama dengan Hezbollah pada perang yang
lalu, belum sepenuhnya dihancurleburkan. Dan pertimbangan ketiga,
sikap presiden Amerika terpilih Barrack Obama yang hanya diam mengenai
pembunuhan etnis di Gaza dan situasi geopolitik regional Timur Tengah
menjadi tanda tanya besar bagi Israel. Israel belum meyakini bahwa
Obama akan berada dibelakang Israel dan memberikan restu terhadap
kepentingan politik dan keamanannya di Timur Tengah. Beberapa hal yang
mengindikasikan kebijakan Obama akan berseberangan dengan George W.
Bush diantaranya: rencana penarikan pasukan Amerika dari Iraq,
penolakan kampanye Global War on Terrorism, dan keinginan Obama untuk
menggunakan jalur diplomasi dalam membicarakan masalah nuklir Iran,
bukan melalui tindakan militer 4 . Namun dari semua pertimbangan
diatas, Israel menggarisbawahi indikasi ketidakberpihakan Obama pada
kebijakan politik Israel. Sehingga hari-hari terakhir Bush dikursi
kepresidenan dijadikan tumpuan untuk menunjukkan kemampuannya sebagai
kekuatan penentu di Timur Tengah.

Delapan hari penyerangan besar-besaran yang dilakukan Israel untuk
menghancurkan militansi Hamas baik lewat udara maupun darat ternyata
berbuah pahit. Hamas masih mampu menembakkan roket jauh kedalam
wilayah Israel walaupun berbagai markas Hamas dan infrastruktur
pemerintahan hancur, listrik diseluruh wilayah Gaza padam, suplai
bahan kebutuhan pokok serta bantuan medis menipis. Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah, "apakah penghentian penembakan roket oleh
Hamas benar-benar akan tercapai ketika Hamas masih memegang kendali
pemerintahan di Gaza?"

Kontraproduktif bagi Israel dan IDF

Penyerangan Operation Cast Lead sebagai pembantaian etnis di Gaza,
pembersihan Hamas sampai ke akar-akarnya atau apapun itu sebutannya
bukanlah hal yang mudah. Walaupun kekuatan Hamas tidak sekuat
Hezbollah dan medan tempur Gaza tidak sesulit Lebanon Selatan, namun
Israel perlu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk mendapatkan
kemenangan mutlak. Kabinet Israel pun mulai meragukan keberhasilan
serangan ini. Dalam sebuah rapat pada hari kedelapan penyerangan
tentara Israel ke Hamas, kabinet Israel menyimpulkan "Hamas tidak
dapat ditumpas."5 Suatu kesimpulan yang sangat mengejutkan dan sulit
diterima.

Serangan yang memakan korban paling mengerikan sepanjang sejarah Gaza,
dimana didalamnya termasuk anak-anak, perempuan dan orang lanjut usia,
sama sekali tidak mengecilkan semangat Hamas dalam berjuang
mempertahankan wilayahnya. Bahkan simpati kepada Gaza semakin hari
semakin besar dan sebaliknya kecaman bertubi-tubi diteriakkan kepada
Israel dari sejumlah tokoh internasional. Bantuan kemanusiaan yang
dikirimkan dari berbagai penjuru dunia merupakan bukti nyata semakin
meluasnya simpati dunia internasional kepada penduduk Gaza, yang
secara tidak langsung juga berimbas kepada Hamas.

Keinginan Israel untuk membakar habis Hamas sampai ke akar-akarnya
ternyata berbuah dendam yang membara terhadap Israel disetiap sanubari
rakyat Gaza, bahkan janin yang masih didalam kandungan. Popularitas
Hamas di Palestina pun semakin naik seperti halnya Hezbollah di
Lebanon setelah memenangkan pertempuran 34 hari-nya. Kemenangan Hamas
pada pemilu legislatif 4 tahun lalu akan semakin menaikkan posisi
Hamas ke puncak tiang bendera aspirasi politik Palestina. Mereka
dipandang sebagai pejuang bangsa dalam mempertahankan kedaulatan
negara. Dan secara bersamaan akan menurunkan kredibilitas kelompok
pro-Barat, Fatah, pimpinan Mahmoud Abbas dinegaranya sendiri.
Pemerintahan Abbas yang dinilai korup oleh masyarakatnya akan
dipandang sebelah mata dan sebaliknya Hamas dapat menjadi alternatif
lain yang lebih baik. Seperti pernyataan seorang analis politik
Israel, Aluf Benn, pada 2 Januari 2009 di surat kabar Haaretz "Jika
perang ini berakhir imbang, seperti yang diprediksikan, dan Israel
gagal untuk menguasai kembali Gaza, maka Hamas akan memperoleh
pengakuan diplomatik."

Bagi Israel sendiri, waktu yang tersisa sampai Barrack Obama disumpah
untuk menduduki kursi kepresidenan Amerika Serikat pada 20 Januari
mendatang sangatlah sempit. Pertaruhan kredibilitas kemampuan
teknologi angkatan bersenjatanya yang disampaikan Perdana Menteri
Israel, Ehud Olmert, pada wawancara eksklusif berbahasa Arab di
saluran televisi Al Arabiya sebelum penyerangan pertama ke Gaza bahwa
"kami lebih kuat" menjadi beban berat dan hutang tak terbayarkan
Israel.

Jika Israel tidak mampu menyelesaikan pertarungan ini dengan absolute
victory maka perang ini menjadi kekalahan ke dua melawan non-state
enemy di Timur Tengah. Dampak terbesar yang akan muncul bagi bala
tentaranya adalah krisis kepercayaan diri. Padahal musuh bebuyutan
Israel di Lebanon, Hezbollah, saat ini mengaku memiliki kekuatan dan
persenjataan tiga kali lebih besar dibanding perang 2006. Sekjen
Hezbollah, Hassan Nasrallah, dalam pidatonya memperingati As Syura
awal tahun ini juga mengatakan bahwa Hezbollah telah memiliki roket
anti pesawat terbang jika Israel menyerang dan mengganggu ketenangan
Lebanon. Selain misil baru dengan jangkauan lebih jauh sampai ke Tel
Aviv atau Negev, Dimona, sebuah kota instalasi nuklir Israel berada.
Bagi penduduk Israel, hal ini berarti mimpi buruk yang akan selalu
menghantui dibawah bayang-bayang kekhawatiran dan serangan balik yang
lebih agresif dari Gaza kelak dikemudian hari.

Selanjutnya, Hamas pun akan memiliki bargaining position di meja
perundingan yang lebih menentukan untuk memaksakan tuntutan
penghapusan boikot ekonomi dan pembukaan jalur perbatasan darat yang
selama ini diberlakukan.

Pertaruhan Terakhir

Walaupun beberapa perwira militer Israel masih meyakini mereka akan
memenangkan peperangan ini 6 , namun pertanyaannya "Berapa lama waktu
yang dibutuhkan Israel untuk menghabisi Hamas?" Akhirnya, Israel harus
membuktikan bahwa taktik IDF yang digunakan dalam Operation Cast Lead
merupakan taktik paling ampuh untuk membungkam Hamas berapapun harga
yang harus dibayar. Jika tidak, maka Israel harus menyiapkan payung
perlindungan roket yang lebih canggih bagi keamanan warganya di masa
depan dalam mengantisipasi dendam kesumat masyarakat Gaza, selain
menciptakan taktik baru yang lebih kredibel komprehensif untuk
mempertahankan eksistensinya di jazirah Arab. Namun, hal ini sekaligus
berarti kemenangan mutlak bagi Hamas secara militer, politik dan
diplomasi interasional.

*Penulis saat ini masih bergabung dibawah Satgas Yonif Mekanis TNI
Konga XXIII-C/UNIFIL di Lebanon Selatan. Sebelum bergabung dalam
penugasan PBB, penulis menjabat sebagai Kaur Data & Statistik Spaban
I/Ren Spersad.
.

Readmore »»

Sabtu, 10 Januari 2009

Kebahagiaan Bisakah Dicari?

Setiap orang mendambakan kebahagiaan, bahkan ada yang mencari kebahagiaan itu
dengan cara apa pun, ada yang menyiksa diri, ada yang mengejar kekayaan, kekuasaan, bertapa dan sebagainya lagi. Ada pula yang mengejarnya dengan belajar ilmu ini dan itu, seolah kebahagiaan itu adalah sesuatu yang bisa dicari dan didapatkan.
Seperti yang terjadi pada orang-orang yang ingin mengejar sesuatu termasuk jabatan. Apakah keinginan menjadi gubernur adalah mencari kebahagiaan, ataukah mereka bekerja demi rakyat, sehingga segala daya upaya dikerahkan untuk menggapai hal itu semua?
Setiap orang mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya. Tidak bahagia ini adalah suatu perasaan yang timbul apabila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Dalam keadaan yang tidak berbahagia ini, bagaimana mungkin orang mencari dan mendapatkan kebahagiaan? Orang yang sedang berjalan-jalan di pegunungan, melihat matahari tenggelam amat indahnya pikirannya tidak
melayang-layang tidak karuan, dia tentu akan mengalami kebahagiaan itu dan kalau sudah begitu, tentu dia tidak mencari kebahagiaan! Dari pada mencari-cari kebahagiaan, bukankah lebih tepat kalau mempelajari mengapa dia tidak bahagia, apa yang menyebabkan dia tidak berbahagia. Kalau yang menjadi penyebab ketidak-bahagiaan itu sudah tidak ada lagi, apakah dia membutuhkan kebahagiaan? Tidak lagi, karena dia sudah berbahagia! Jadi, kebahagiaan itu sesungguhnya tidak pernah meninggalkan kita, seperti Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kita dengan kasih sayangNya. Kitalah yang meninggalkan kebahagiaan, kitalah yang meninggalkan Tuhan! Kita meninggalkan
kebahagiaan melalui akal pikiran kita yang bergelimang nafsu sehingga kita tidak pernah merasa puas dengan keadaan, kita penuh harap, penuh keceaa, penuh iri, penuh amarah, penuh kebencian. Semua itu membuat kebahagiaan tidak nampak lagi dan membuat kita merasa tidak berbahagia!
Seperti halnya kesehatan. Kita sudah sehat setiap saat, akan tetapi kita tidak dapat merasakan itu, tidak dapat menikmati itu. Kalau kita sakit saja barulah kita dapat membayangkan betapa akan nikmatnya kalau kita sembuh dan sehat!
Kebahagiaan sudah ada setiap saat. Kalau ada gangguan sehingga kebahagiaan tidak
terasa, itu adalah kesalahan kita sendiri. Karena itu, setiap saat kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Kalau menghadapi malapetaka, di samping berusaha sekuat mungkin untuk menghindarkan diri, juga kita harus menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang berkuasa mengatur segalanya. Juga mengatur. kehidupan kita. Makin kita mendekatkan diri kepada Tuhan, makin kuat iman kita kepada Tuhan, makin dekat pula kebahagiaan dengan kita, makin dapat terasakan.
Tidak ada salahnya kita sekarang bertanya kepada orang-orang yang sedang berjuang untuk menjadi anggota legislatif, bupati/walikota, gubernur, bahkan presiden. Apakah kalau sudah tercapai keinginannya mereka bahagia? Hati manusia sukar diukur dalamnya. (*)
.

Readmore »»

Partai Demokrat Antek Zionis


Democrats have silenced dissent and offered unflinching support for Israeli actions, including gross violations of international law.


By Stephen Zunes

January 08, 2009 "AlterNet "January 06, 2009 The Democratic leadership's strident support for the ongoing Israeli assault on the Gaza Strip underscores how the Democrats suffer from the same illusions as the outgoing Republican administration: that placing an Arab territory under debilitating sanctions that punish the population as a whole, bombarding heavily populated civilian areas -- resulting in widespread casualties among innocent people -- and invading and occupying territories with a long history of resistance to outsiders will somehow lead to greater moderation from those afflicted.
The reality is that Israel's war against Hamas and the Palestinians of the Gaza Strip is no more likely to result in more rational and compromising positions from the Palestinian side than the firing of rockets by Hamas into Israel will lead to more rational and compromising positions from the Israelis.
As a result, the hard-line militaristic position of the Democratic Party does not bode well for a more enlightened Middle East policy after eight disastrous years under President George W. Bush.

On Capitol Hill, resolutions are being prepared in the House and Senate to defend the Bush administration' s policy of unconditional support for the Israeli assaults, which as of this writing have led to the deaths of 500 people, at least one-quarter of whom were civilians. Unless there is widespread public opposition, it appears that the overwhelming majority of congressional Democrats will vote along with their Republican colleagues in favor of these resolutions, thereby giving Israel a blank check to continue the carnage and, as a result, give Hamas and other Palestinian militant groups the excuse to continue their attacks against Israeli civilians as well.

Democrats Goad Israel Into War
In June, 38 of 49 Democratic senators -- including Secretary of State-designate Hillary Clinton of New York -- wrote a letter (PDF) to President Bush that Americans for Peace Now, a moderate Zionist group, warned would build "a defense, in advance, for a large Israeli military offensive in Gaza." The letter also urged the Bush administration to block any U.N. Security Council resolution critical of Israel, claiming that United Nations opposition to Israeli attacks against crowded urban areas constituted a refusal to "acknowledge Israel's right to self-defense. " An almost identical letter in the House, drafted by House Majority Leader Rep. Steny Hoyer, D-Md., received the signatures of 150 of the body's 230 Democrats.
Americans for Peace Now noted that such an Israeli offensive against the Gaza Strip would likely result in large-scale civilian casualties. In apparent anticipation of the large numbers of Palestinian deaths that would result from such military operations in the Gaza Strip, the House passed a resolution (PDF) in March, during an outbreak of fighting, that claimed, "Those responsible for launching rocket attacks against Israel routinely embed their production facilities and launch sites amongst the Palestinian civilian population, utilizing them as human shields." The resolution goes on to specifically condemn "the use of innocent Palestinian civilians as human shields by those who carry out rocket and other attacks" and yet again makes note of Palestinians who "continue to be utilized as human shields by terrorist organizations. "

But according to Joe Stork of the Middle East division of Human Rights Watch, while Hamas failed to take all feasible precautions to protect civilians in the densely populated Gaza Strip, the watchdog group had found no instances of Hamas actually using human shields in the legally defined sense of deliberately using civilians as a means of deterring counterattacks. Despite my contacting the offices of more than a dozen Democratic members of Congress who supported the resolution -- all of whom are members of the so-called Progressive Caucus -- none of them could provide any examples of Hamas actually using human shields. It appears that the Democrats' goal in pushing through this resolution was to convince their constituents that it was the Palestinians, not the Israelis who were attacking them, who were responsible for civilian casualties and who would likewise be responsible for the far greater number of civilian casualties that would inevitably result from the Israeli bombardment and invasion which was to commence later that year.

The resolution also gave unqualified support for the Israeli government's attacks against the Gaza Strip, even as Amnesty International condemned Israel's "reckless disregard for civilian life" in its bombing and shelling of civilian population centers. The AI report also noted how the attacks by Palestinians against civilian-populated areas in Israel, which the report also roundly condemned, "does not make it legitimate for the Israeli authorities to launch reckless air and artillery strikes which wreak such death and destruction among Palestinian civilians."

Not a single one of the 230 Democrats in the House of Representatives voted against the resolution. (There were four abstentions, and 12 did not vote.) This sent a clear signal that there would be no opposition in Congress -- which provides over $4 billion annually in unconditional military and economic aid to the Israeli government -- for an even larger military assault against the Palestinian population of the enclave.

Democratic support for an Israeli war against the Gaza Strip went beyond such nonbinding resolutions. In apparent anticipation of the long-planned Israeli invasion of Gaza -- which was to begin just three months later -- the Democratic-controll ed Congress voted in September to send 1,000 of the highly sophisticated GBU-39 missiles to Israel, which have been used on a large scale in the Israeli assault.
On Nov. 5, Israel launched a brief but significant military incursion into Gaza. Though the raid was a clear violation of the cease-fire that had been in place at the time, no criticism was heard in Washington. There had been a series of minor violations by both sides, but the magnitude of this raid appeared designed to provoke Hamas into letting the cease-fire lapse. Israel then tightened its siege of the Gaza Strip, prompting Human Rights Watch to note that "Israel's severe limitations on the movement of nonmilitary goods and people into and out of Gaza, including fuel and medical supplies, constitutes collective punishment, also in violation of the laws of war." Despite this, President-elect Barack Obama and Democratic congressional leaders continued to defend the sanctions.
Hamas appeared willing to renew its cease-fire in return for Israel lifting the blockade on humanitarian and other aid and ending its periodic raids into Gaza and assassinations of Hamas officials. However, Israel -- again, supported by Obama and Democratic congressional leaders -- refused. Now, however, despite these leading Democrats' opposition to nonmilitary means, which could have salvaged the cease-fire and prevented the rocket attacks into Israel, they are now claiming that Israel had "no choice" but to launch its massive assault on Gaza Strip in retaliation.

In a Dec. 28 interview, Obama's chief adviser David Axelrod appeared to align the president-elect with the Bush administration in its support for Israel's war on the Gaza Strip, citing an Obama statement from the summer, in which he said, "If somebody was sending rockets into my house where my two daughters sleep at night, I'm going to do everything in my power to stop that. I would expect Israelis to do the same thing."
Axelrod ignored the fact that since Israel had launched its bombardment of the Gaza Strip, rocket attacks against Israeli towns had actually increased. This raises concerns that an Obama administration, like the Bush administration, may be so ideologically committed to military solutions in political conflicts that it too will ignore even obvious failures.

Rationalizing Civilian Deaths
Amnesty International USA, in a letter to Secretary of State Condoleezza Rice on January 2, noted its dismay "at the lopsided response by the U.S. government to the recent violence and its lackadaisical efforts to ameliorate the humanitarian crisis in Gaza." The Nobel Peace Prize-winning organization went on to note, "Without diminishing the responsibility of Hamas and other Palestinian armed groups for indiscriminate and deliberate attacks on Israeli civilians, the U.S. government must not ignore Israel's disproportionate response and the longstanding policies which have brought the Gaza Strip to the brink of humanitarian disaster."

Leading Democrats rushed to the administration' s defense, however. As reports of widespread civilian casualties among Palestinians in the Gaza Strip from the Israeli attacks continued to pour in, Speaker of the House Rep. Nancy Pelosi, D-Calif., insisted that "When Israel is attacked, the United States must continue to stand strongly with its friend and democratic ally." Senate Majority Leader Harry Reid, D-Nev., stated ,"I strongly support Israel's right to defend its citizens against rocket and mortar attacks from Hamas-controlled Gaza." House Majority Leader Hoyer claimed, "Israel is acting in clear self-defense in response to heinous rocket attacks from Hamas-controlled Gaza" and that Israel has "an unequivocal right" to engage in its military operations. Rep. Howard Berman, D-Calif., whom the Democrats recently named to chair the House Foreign Affairs Committee, declared "Israel has a right, indeed a duty, to defend itself in response to the hundreds of rockets and mortars fired from Gaza over the past week." Even prominent liberals, like Rep. Barney Frank, D-Mass., insisted that "This use of Gaza as a base from which to attack Israel left Israel with no choice except self defense."

These Democrats have been unable to explain how a number of the most deadly Israeli strikes, which took place nowhere near any legitimate military targets, constitute acts of self-defense. These have included the missile which struck a group of students leaving the U.N.-sponsored Gaza Training College in downtown Gaza, the bombing of a mosque during evening prayers, another missile attack centered in civilian neighborhoods in the crowded refugee camps of Jabalya and Rafah, as well as a series of attacks against the territory's one university. Scores of others who worked in government offices under the Hamas administration but had nothing to do with rocket attacks against Israel -- or any other military function of the Islamist party -- have been killed as well.
Yet some Democrats have gone as far as to simply deny that attacks against civilian targets are taking place at all. For example, Rep. Brad Sherman, D-Calif., a member of the Foreign Relations Committee and its Middle East subcommittee, has insisted that (PDF), contrary to reports of reputable human rights groups, international journalists and other eyewitnesses, "The Israeli response has been a series of targeted strikes against Hamas militants, aimed directly at those who are launching the attacks on Israeli civilian population centers" and that "the Israeli military is taking extreme caution to limit civilian casualties."
The Democratic Party has a history of denying Israeli culpability in the deaths of civilians during military operations in the Gaza Strip. During an Israeli offensive against the territory in 2006, prior to Hamas' takeover of the Palestinian Authority, Amnesty International declared:
"The Israeli authorities' deliberate and wanton destruction of civilian infrastructure and property in the Gaza Strip amounts to a war crime. The destruction and the disproportionate and arbitrary restrictions imposed by the Israeli army on the movement of people and goods into and from the Gaza Strip also amount to collective punishment of the entire population. This violates the Fourth Geneva Convention, which prohibits punishing protected persons for offences they have not committed."
Similarly, the International Red Cross, long recognized as the guardian of the Geneva Conventions, declared that Israel was violating the principle of proportionality, as well as the prohibition against collective punishment.
Despite this and similar reports by other reputable human rights groups, Democrats – with only nine dissenting votes – joined their Republican colleagues in passing a House resolution claiming Israel's attacks, which resulted in widespread civilian casualties, were "in accordance with international law." The resolution went on to rebuke reports by Amnesty International and Human Rights Watch's criticisms of Israel's failure to distinguish between military and civilian targets by including language that praised Israel's "longstanding commitment to minimizing civilian loss" and welcomed "Israel's continued efforts to prevent civilian casualties."

The resolution also insisted that Israel's attacks were in accordance with "Article 51 of the United Nations Charter." However, Article 33 of the Charter requires all parties to "first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice," which Israel -- with the backing of most of these same congressional Democrats -- has refused to do. Article 51 does allow countries the right to resist an armed attack, but not the right to engage in massive and disproportional attacks against crowded urban population centers.

The 2006 resolution, sponsored by the late Rep. Tom Lantos, D-Calif., then the ranking Democratic member of the House Foreign Relations Committee, commended President Bush for "fully supporting Israel" in the face of widespread international opposition, including by some of the United States' closest allies.
With only nine dissenting Democratic votes in the 435-member body, this placed virtually the entire Democratic Caucus on the side of Bush against a broad consensus of the international community, including all major human rights organizations.

Opposing Peace Negotiations
It should come as no surprise that when negotiations are ruled out, war results. But instead of encouraging negotiations between Hamas and Israel, the Democratic Party has actively discouraged it.
Even President-elect Obama, who has expressed willingness to meet with leaders of Iran and other hard-line regimes, spoke out in early 2008 against any negotiations with the Hamas government in the Gaza Strip, which received the majority of seats in the most recent Palestinian parliamentary elections. Indeed, the Democrats -- led by Vice President-elect Joe Biden -- have criticized the Bush administration for allowing the Palestinian Authority to go ahead with free elections in the first place.

This opposition to peace talks comes despite polls showing that a majority of Israelis -- including the mayors of the Israelis towns on the receiving end of Hamas rocket attacks -- do support negotiations with Hamas. Unlike the Democratic Party, the Israeli public is much more cognizant of the fact that -- whether it be a short-term cease-fire, a permanent peace agreement or something in between -- ending the violence without such negotiations will be impossible. Indeed, at the very time Obama was rejecting the idea of talks with Hamas, senior members of the Israeli security establishment were urging the Israeli government to engage in such talks, arguing that any agreement made without Hamas would fail.

Furthermore, for a number of years, the Israelis have been regularly negotiating indirectly with Hamas through Egyptian intermediaries and Palestinian prisoners. Back when Hamas was in charge of local governments in some West Bank towns several years ago, there were direct talks on a number of logistical issues. The Democratic Party, however, insisted that such talks not take place -- apparently because the prospect of negotiations would get in the way of Israel's massive military offensive against the Palestinians of the Gaza Strip.

The Democratic Party's leadership has long argued that no talks should take place until Hamas formally recognizes Israel's right to statehood, yet many of these same Democrats have had no problems with meeting, and even providing support for, Israeli parties and political groups that insist that the Palestinians do not have the right to statehood, such as the Likud Bloc, which is favored to win the upcoming Israeli elections. In addition, a sizable majority of Democrats in Congress have gone on record insisting that an explicit Hamas recognition of Israel as a Jewish state be a precondition for ending sanctions and inclusion in the peace process, which is not only an unnecessary prerequisite for negotiating a long-term cease-fire, but is something which even the Israeli government has not demanded.

Silencing Democratic Critics
Democratic Party leaders have made it clear that any dissent from within the party to their right-wing position rejecting any contact with Hamas will not be tolerated.
For example, Robert Malley, who served as a National Security Council member and special assistant for Arab-Israeli Affairs under the Clinton administration, was already under fire for having the temerity to object to the Bush administration' s effort to organize a coup against Hamas, noting how, "Almost every decision the United States has made to interfere with Palestinian politics has boomeranged. " He had been serving as an informal adviser to Obama during the presidential race, but was forced to sever his ties with the campaign when it was revealed that, as part of his efforts to promote a cease-fire in his role with the International Crisis Group, he had met with Hamas officials. For the Obama campaign, such peace-making efforts simply could not be tolerated.
In an even better-known example, former President Jimmy Carter was quoted last spring as saying, "I think there's no doubt in anyone's mind that, if Israel is ever going to find peace with justice concerning the relationship with their next-door neighbors … Hamas will have to be included in the process," adding, "I think someone should be meeting with Hamas to see what we can do to encourage them to be cooperative. " He then met with Hamas leader Khaled Meshaal in Syria.

Former presidents have historically been largely exempt from criticisms by elected officials of their own party. When it comes to expressing the opinion that the United States should figure out a way to include Hamas in negotiations, however, such courtesy quickly evaporated. Carter, winner of the 2002 Nobel Peace Prize, was immediately denounced by Democratic Party leaders. Steve Grossman, a former chairman of the Democratic National Committee claimed, "Carter's views are antithetical to those in the mainstream of the Democratic Party. He does not speak for either [Clinton or Obama] in any shape or form, and I think there's pretty much unanimity on that point."

As a result of his efforts to avoid war, Carter was denied a major platform at the 2008 Democratic National Convention in Denver, the first time in memory that a former president had been denied such an honor at his party's quadrennial gathering.
It's important to remember that both Malley and Carter were leaders of NGOs whose very mandates are to engage in conflict resolution. What these Democrats appear to be saying is that the Bush administration' s policy of not talking with those deemed undesirable should not just be the policy of the U.S. government, but every nongovernmental organization and private citizen as well.

But that policy is inconsistent. Through his role at the Carter Center, for example, Carter met with war criminals like Liberia's Charles Taylor, Haiti's Raoul Cedras and Uganda's Martin Ojul, with no complaints from these same Democratic leaders. Their opposition to Carter's willingness to speak with Hamas appears not to have been because of the group's role in war crimes but because Carter had hoped such dialogue might pave the way for a negotiated settlement. Indeed, a number of those who supported Carter's exclusion from the Democratic National Convention had themselves met with unsavory characters as well, including right-wing Cuban and Nicaraguan terrorist leaders, some of the worst dictators on the planet, and others with even more blood on their hands than Meshaal.

What Explains the Democrats' Position?
All this inevitably raises the question as to why, in a conflict where both sides are clearly at fault, the Democratic Party has chosen to put 100 percent of the blame on the Palestinian side and has unconditionally supported the actions of the Israelis, who are not only the more powerful of the two, but whose violations of international humanitarian law are many times greater than those of Hamas.

There are those who try to defend these Democratic hawks by claiming it would somehow be political suicide to oppose any resolution supporting Israeli military actions. But a recent Rasmussen poll indicates that Americans are closely divided regarding the legitimacy of Israel's attacks on Gaza Strip, with Democratic voters opposing the offensive by a 55 percent-to-31 percent margin. Regarding the Israeli-Palestinian conflict overall, 7 of 10 Americans believe the United States should not take sides -- yet another example of how out of step the Democratic leadership is with the American public.
Nor does this strident support for Israeli militarism have anything to do with a genuine concern for Israel's legitimate security interests, given that every previous effort to defeat Hamas militarily has backfired. Similarly, Israel's 2006 offensive against Lebanon's Hezbollah -- also overwhelmingly supported by congressional Democrats -- proved to be a disaster for Israel.

The primary factor for the Democratic leaderships' hawkish stance regarding the current conflict appears to be the relative inaction of the progressive base of the Democratic Party. Most rank-and-file Democrats, at least intuitively, recognize the fallacy of the Democratic leadership's militaristic line and are aware that support for the Bush administration Middle East policy has brought neither justice for the Palestinians nor security for Israel. At the same time, however, the grassroots of the party has failed to mobilize in a way that would let the party leadership know there is a price to pay for supporting such a right-wing agenda.

Despite their efforts to undermine international humanitarian law and rationalize for the killing of civilians, many of these Democratic supporters of Bush administration policy toward Israel and Palestine still receive the enthusiastic endorsements and PAC funding from MoveOn and other supposedly "progressive" political organizations.
The message to Democratic lawmakers, then, appears to be that the progressive community doesn't care about international humanitarian law, at least if the victims happen to be Arabs.
And, although American Israel Public Affairs Committee and allied right-wing groups have certainly played a role in limiting debate within the Democratic Party, their power is often so grossly exaggerated as to create a fatalistic view that it is not worth even trying to get these Democratic officials to support a more balanced policy on Israel and Palestine. This results in a kind of self-fulfilling prophecy by leading progressive activists to blithely accept that otherwise progressive members of Congress embrace positions essentially identical to that of the Bush administration. Congressional staffers -- always off the record -- often play into anti-Semitic stereotypes by claiming that their boss is but a hapless victim of rich and powerful Jews behind the scenes and should therefore not be held accountable for his or her actions. It is profoundly disappointing that so many peace and human rights activists appear to fall for it.

If there is to be peace between Israel and Palestine, we must stop giving these Democratic hawks the benefit of the doubt or making excuses for them. This means engaging in protests at their speaking events and sit-ins in their offices. It means withholding campaign contributions, supporting progressive challengers in primary races and backing Green or other third-party challengers in the general election.
Until they know there is a political price to pay for their anti-Palestinian -- and ultimately anti-Israel -- positions, they will continue to push their right-wing foreign policy agenda. How the progressive community addresses the ongoing tragedy in the Gaza Strip in the coming days and weeks may determine the direction for the incoming Obama administration and the 111th Congress, not just in terms of U.S. policy toward Israel and Palestine, but in foreign policy overall.

For ultimately, the issue is not about Hamas versus the Israeli government, or even Palestine versus Israel, but between supporters of international humanitarian law and those who believe the United States and its allies are somehow exempt.

Stephen Zunes is a professor of politics and chairman of Middle Eastern Studies at the University of San Francisco and serves as a senior policy analyst for Foreign Policy in Focus.
http://www.informat ionclearinghouse .info/article216 79.htm
.

Readmore »»

Kamis, 08 Januari 2009

Hugo Chavez Pahlawan Palestina


Ketika negara lain masih mengecam aksi teror dan kebiadaban Israel, diam-diam Venezuala bereaksi keras atas serangan Israel ke Jalur Gaza. Tanpa banyak cincong, negara yang paling anti Amerika Serikat itu langsung mengusir Duta besar Israel dari Caracas, Selasa (6/1). Artinya tidak ada lagi hubungan diplomatik dengan Israel.
“Venezuela telah memutuskan untuk mengusir Duta Besar Israel Shlomo Cohen dan beberapa staf di Kedutaan Besar Israel. Kami memulai lagi seruan pada perdamaian dan penghormatan pada hukum internasional,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Venezuela.
Venezuela menuduh Israel telah melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional dan merencanakan untuk menggunakan terorisme negara terhadap rakyat Palestina. "Pada saat yang tragis dan menyakitkan hati itu, rakyat Venezuela menunjukkan solidaritas yang tak terbatas kepada rakyat Palestina yang heroik," kata pernyataan itu.
Presiden Venezuela, Hugo Chavez, menyebut serbuan Israel ke Jalur Gaza sebagai sebuah tindakan barbar. Dia pun meminta komunitas Yahudi di Venezuela menyatakan sikap melawat barbar Israel.
“Ada komunitas Palestina hidup di sini bersama kami, yang kami sayangi dan cintai. Ada pula (komunitas) Yahudi yang hidup di sini, yang juga kami cintai. Tapi saya berharap komunitas Yahudi ini menyatakan diri mereka melawan (tindakan) barbarian ini. Lakukan. Tidakkah kalian mencela tindakan penganiayaan dan Holocaust? Lihatlah apa yang terjadi (di Gaza). Taruh tangan kalian di hati dan bersikaplah fair,” tegas Chavez.
Venezuela bukan satu-satunya negara yang mengambil langkah politik tegas melawan serangan brutal Israel di Gaza. Mauritania, salah satu dari tiga negara-negara di sekitar Arab yang masih mempertahankan hubungan diplomatik penuh dengan Israel, menarik pulang duta besar mereka dari Yerusalem.
Menurut laporan, Mauritania yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sejak 1999, memanggil pulang dubesnya pada Senin. Tindakan ini sebagai bentuk protes terhadap kekerasan Israel.
Di Mauritania sendiri, kalangan mahasiswa dan pelajar terus melancarkan protes setiap hari. Mereka menentang operasi militer Israel. Mereka pun mendesak pemerintah Mauritania memutuskan hubungan dengan Israel.
Langkah Chavez dipuji habis pejuang Hamas. Mereka menilai Chavez telah menunjukkan sikap yang berani. Dalam pernyataan resminya, Hamas menyambut baik keputusan Chavez mengusir Dubes Israel dan mengecam agresi Zionis di Jalur Gaza.
“Kami juga kaget dengan fakta bahwa negara-negara Arab tak melakukan tindakan yang sama dan terus saja mempertahankan hubungan diplomatik dengan Israel,” bunyi pernyataan tersebut.
Sikap serupa diambil sekitar 150 orang yang menggelar demonstrasi di Beirut, Lebanon, Rabu (7/1). Demonstran yang berasal dari organisasi sayap kiri ini juga mengecam diamnya bangsa-bangsa Arab. Karena itu, dalam demonstrasi tersebut, mereka juga mengusung foto Hugo Chavez. Apalagi, Chavez juga menyerang Israel dan AS dengan menyebut mereka sebagai penjahat perang yang harus dihadili di mahkamah internasional. (*)
.

Readmore »»

Rabu, 07 Januari 2009

Pelatih Top pun Tak Luput dari Pemecatan


Pemecatan adalah salah satu resiko yang harus siap dihadapi oleh seorang pelatih sepakbola. Tidak peduli apa yang sudah dia hasilkan pada masa lalu, bila dianggap gagal saat ini maka pemecatan menjadi hal yang harus diterima. Dan fakta di lapangan mencatat seberapa top-nya pelatih itu karena koleksi gelar dan tropi yang sudah dia raih, dia juga tidak pernah lolos dari pemecatan.
Rafael Benitez yang sekarang menangani Liverpool dan sudah memberikan satu gelar Liga Champions, ternyata pernah dipecat tiga kali karena dianggap gagal. Mengawali karir melatih di Castilla Youth B pada 1986, karir pelatih kelahiran 16 April 1960 ini kemudian mendapat kepercayaan untuk menangani Real Madrid U-19 dan Real Madrid B pada 1993-1995.
Rafa yang ketika masih menjadi pemain berposisi sebagai gelandang, memulai karir di tim senior menangani Real Valladolid pada 1995-1996 dan Osasuna 1996-1997. dianggap kurang sukses dua tim ini kemudian memecatnya. Pada 1997, Rafa turun ke Segunda Division menangani Extremadura mulai 1997 dan sukses mempromosikan klub itu ke Primera Division. Namun Rafa gagal mempertahankan Extremadura bertahan di Primera Liga Spanyol, sehingga kembali harus dipecat.
Tahun 2000 dia memegang Tenerife karena dianggap sukses tahun berikutnya diambil oleh Valencia. Di Valencia inilah nama Rafael Benitez meroket karena sukses dua kali membawa El Che bermain di Liga Champions dan sekali menjadi juara UEFA Cup sehingga akhirnya ditarik manajemen Liverpool menggantikan Gerrard Houllier pada 2004.
Sir Alex Ferguson yang sangat legendaris bersama ManYoo juga pernah tidak luput dari pemecatan ketika dia menangani St Mirren di Skotlandia pada 1978. Marcello Lippi yang sukses membawa Gli Azzurri Italia menjadi juara Piala Dunia 2006 bahkan empat kali mengalami pemecatan, termasuk pemecatan yang paling menyakitkan ketika menangani Inter Milan.
Lippi adalah sosok di belakang sukses Maradona ketika bermain untuk Napoli pada 1993-1994. bersama Juventus (1994-199), Lippi juga beberapa kali menggapai sukses. Hingga akhirnya dia hengkang ke Inter Milan pada akhir musim 1999. Namun hanya setahun Lippi di Inter Milan alias dipecat karena tidak mampu membuat Inter Milan sukses seperti Juventus pada 2000.
Kita juga melihat bagaimana Juande Ramos yang sekarang menangani Real Madrid dan begitu sukses di Sevilla, akhirnya harus direla diberhentikan oleh Tottenham Hotspur. Pelatih sekelas Fabio Capello yang sekarang menangani timnas Inggris pun tidak lepas dari pemecatan. Fakta mencatat setelah sukses membawa Real Madrid menjadi juara Primera La Liga 2007, dia kemudian dipecat.
So, bagi seorang pelatih dipecat atau diberhentikan adalah hal yang biasa. Berkaca dari contoh-contoh di atas bisa kita tarik kesimpulan pelatih tidak boleh bangga dengan prestasi yang pernah dia buat. Deretan prestasi yang pernah dibuat di masa sebelumnya seperti lembaran-lembaran novel yang sedikit demi sedikit dilupakan seusai dibaca. (*)
.

Readmore »»

Selasa, 06 Januari 2009

New Balance Shoe for Jaini

by Rahmat Adhy Kurniawan
Selasa (5/1) malam seluruh awak redaksi Radar Surabaya berkumpul di ruang rapat redaksi mengelilingi meja kotak yang kadang-kadang juga jadi meja 'medan pertempuran' untuk berebut sego bungkus terutama kerupuknya, snack, buah-buahan, atau panganan lainnya yang datangnya dari mitra bisnis, awak redaksi yang punya hajat, atau gorengan dari wartawan senior kami Joko Pitono. Agenda utamanya ngomong-ngomong apa yang harus dilakukan Radar Surabaya pada Tahun Kerbau Tanah yang katanya tahun penuh perjuangan atau tahun yang harus dijalani dengan kerja keras itu.
Dari penjelasan Pemimpin Redaksi kami Leak Kustiyah yang full humor luar dalam, dan GM Lilik Widiyantoro yang kalem bersahaja, selama 2008 Radar Surabaya dengan semangat New Start-nya diakui atau tidak membuat kondisi koran dengan tagline “Koran Yang Menyentuh Surabaya” ini mulai membaik tidak kalah bila di bandingkan media-media lain di bawa Grup Jawa Pos. Meskipun untuk urusan yang satu itu (kita semua sudah tahu apa), belum ada perbaikan. It's no problem, boss (kami tahu koq kondisinya)
Rapat yang digelar usai deadline sehingga membuat yang hadir ngantuk dan kelelahan, tidak menyurutkan semangat kami untuk mendengarkan what next yang harus dilakukan Radar Surabaya. Bisnis koran yang semakin berat terutama karena naiknya harga kertas, mau tidak mau membuat sulit beberapa kompetitor yang meramaikan dunia perkoranan di Surabaya dan sekitarnya atau Jatim sebagai target market Radar Surabaya.
Tapi bagi manajemen Radar Surabaya itu semua adalah tantangan yang harus dihadapi pada 2009 ini, kalau dulu top kompetitor kita paling tidak menurut Cak Leak menguasai 98 persen, sehingga sisanya yang dua persen jadi rebutan koran-koran lainnya termasuk Radar Surabaya, memasuki 2009 ini ternyata dominasi itu mulai berkurang menjadi sekitar 60 persen sehingga Radar Surabaya nantinya berjuang untuk merebut yang 40 persennya. Masih ada harapan, dan kami masih bisa bermimpi Radar Surabaya menjadi koran yang diperhitungkan. Karena itulah kalau koran-koran lain berpikir untuk mengurangi awak, menutup biro, bahkan tidak terbit lagi, Insya Allah Radar Surabaya justru akan tambah halaman dan juga tambah awak redaksi.
Untuk mencapai itu semua tentu harus dilakukan dengan kerja keras, fighting spirit yang tinggi dan tentu saja berpikir kreatif untuk membuat Radar Surabaya tidak hanya enak dibaca dan perlu, tapi juga 'kurang lengkap' bila tidak baca Radar Surabaya, minimal tentang Surabaya.
Apa yang terjadi pada awal tahun terutama pada diri rekan Jaini yang membanggakan dirinya sebagai Jaini Baros karena kemampuannya mencetak gol bila main sepakbola dan futsal, mengilhami Cak Leak, Radar Surabaya harus berani berubah, harus kreatif menghadapi tantangan dan tetap tidak kehilangan spirit untuk bertarung.
Jaini yang biasa tampil lecek dengan rambut gondes-nya, berani tampil new look dengan potongan rambut pendek plus semir merah maroon-nya sehingga kini tidak seperti Milan Baros lagi, tapi sepintas mirip Stephen Cow meskipun leceknya tetap tapi sedikit berkurang.
Untuk mengapreasi keberanian berubah yang dilakukan pria kelahiran Pilang Kenceng, Madiun ini, Cak Leak pun memberikan bonus kejutan sebuah sepatu yang masuk kategori top brand, New Balance. Brand asli Negeri Paman Sam ini bukan sembarang sepatu karena big boss Dahlan Iskan adalah salah satu pemakai fanatiknya. New Balance atau keseimbangan baru, menjadi cita-cita Radar Surabaya di masa depan untuk mengarungi pertarungan bisnis koran di Tanah Air tercinta ini.
Radar Surabaya berusaha akan mencapai keseimbangan baru antara bisnis koran yang menguntungkan dan sebagai social control di masyarakat yang tidak kehilangan jati dirinya sebagai salah satu wahana penyampaian idealisme jurnalistik. Let's Get Ready, perjuangan baru segera dimulai, Tetap Semangat, Tetap Kreatif, God Bless all of us. SELAMAT BEKERJA!
.

Readmore »»

Senin, 05 Januari 2009

Apakah Kita Masih Bisa Berharap

Harapan memang suatu perasaan yang luar biasa kuatnya. Harapan dapat menimbulkan
gairah hidup. Kalau masih mempunyai harapan, maka orang mampu menanggung segala
derita yang bagaimana berat sekali pun. Sebaliknya orang yang sudah kehabisan harapan, yang putus harapan, akan mudah melakukan hal-hal yang tidak benar. Bahkan banyak orang membunuh diri karena sudah putus harapan. Akan tetapi sebaliknya, harapan yang terlalu digantungi dapat pula menimbulkan kekecewaan pada akhirnya karena hanya orang yang berharap sajalah yang akan kecewa kalau harapannya tidak terkabul!
Karena itu, orang tidak boleh putus harapan akan tetapi juga tidak baik kalau terlalu mengharap sesuatu secara berlebihan. Harapan yang terlalu berlebihan merupakan keinginan nafsu yang tidak akan pernah terpuaskan. Kalau harapan itu terpenuhi sekalipun,' biasanya tidak seindah yang diharapkan, atau tidak terasa sebaik yang diharapkan atau diinginkan karena keinginan sudah menghendaki hal lain lagi yang dianggap lebih baik.
Kondisi seperti ini yang mungkin terjadi pada diri para petarung di Pilgub Jatim saat ini, masih ada harapan untuk menang. Maka apapun akan dilakukan, berbuat curang seperti yang dituduhkan salah satu petarung, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan harapan itu.
Benarkah ada kecurangan? Ataukah kata kecurangan ini sekarang jadi senjata paling aman untuk mewujudkan harapan? Tidak tahu. Yang pasti Pilgub Jatim memberi kita pelajaran bagaimana orang-orang mengejar harapan. Bagaimana tingkah pola mereka, bagaimana manuver mereka yang katanya demi tegaknya demokrasi dan kejujuran. Bicara politik kejujuran dan kepalsuan sangat tipis bedanya. Siapa yang jujur siapa yang palsu tidak perlu dinilai. Kepingin jadi pegawai baik itu swasta maupun PNS tidak keberatan kalau nyogok, apalagi pengin jadi gubernur.
Wahai para petarung di Pilgub Jatim, tidak usah mengusung dan berkoar dirinya paling jujur atau paling bersih. Kalau sudah bertarung tentu cara-cara kotor biasa dianggap bersih menurut kacamata diri kita sendiri.
Tahun ini tepatnya 9 April 2009 kembali digelar ajang untuk mewujudkan harapan orang-orang untuk menduduki kursi wakil rakyat. Dengan dalih ingin mewujudkan keinginan rakyat, yang pertama mereka akan berjuang mati-matian untuk mewujudkan keinginan dan harapan pribadi dulu.
Kita tidak tahu sampai kapan harapan kita untuk hidup aman sejahtera bisa terwujud. Kalau melihat pertarungan di Pilgub Jatim ini, tampaknya harapan rakyat untuk hidup sejahtera masih jauh.
Pun demikian ajang pada April nanti. Tapi hidup itu harus memilih, hidup harus berharap dan kita harus siap bahwa harapan itu tidak sesuai dengan yang kita harapkan. (rahmat ak)

Readmore »»

Minggu, 04 Januari 2009

Buktikan Bukan Antek Zionis

HARI-hari terakhir berada di Gedung Putih, tak ada tanda-tanda George 'Semak-Semak' Bush ingin mendapat penghormatan dunia sebagai seorang pemimpin negara adidaya. Pernyataannya yang sangat membela Israel itu semakin membuat dunia muak dengan segala perilakunya selama ini terhadap dunia Islam, seperti invasi ke Irak dan Afganistan pasca-serangan 11 September 2001. Ia tetap saja arogan dan bersikap standar ganda menanggapi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Israel terhadap ratusan wanita dan anak-anak yang meregang nyawa akibat rudal yang menghantam rumah mereka.
Yang lebih sulit dipercaya adalah pernyataannya yang menuding serangan roket Hamas ke Israel sebagai aksi teror, sementara ia tak menyalahkan pasukan Israel yang membunuh hampir 500 rakyat Gaza, yang kebanyakan adalah warga sipil. ia juga masih mengedepankan retorika lamanya, bahwa di balik aksi Hamas itu adalah Suriah dan Iran, dua negara yang selalu bersitegang dengan Bush.
"Amerika Serikat tengah memimpin upaya-upaya diplomasi untuk mencapai gencatan senjata yang benar-benar dihormati. Gencatan senjata sepihak yang memicu serangan roket ke Israel tak dapat diterima," katanya dalam pidatonya yang disiarkan melalui radio, Sabtu (3/1).
Mungkin sebaiknya dunia tak terlalu mempedulikan lagi Bush, karena ia sendiri tak lama akan turun panggung seraya merenungi segala kesalahan kebijakannya yang meruntuhkan dunia saat ini.
Kini sebaiknya masyarakat internasional, melalui PBB maupun pendekatan bilateral dan multilateral, mulai melakukan pembicaraan dengan Presiden AS terpilih Barack Obama.
Komunitas internasional juga harus menagih janji kepada Obama yang akan membuat perubahan, baik terhadap Amerika maupun dunia, karena segala kejadian di dunia tak bisa terlepaskan dari keterlibatan Paman Sam.
Jika benar Obama ingin membuat perubahan, mungkin ia harus bersikap berbeda dengan pendahulunya dalam menanggapi konflik di Timur Tengah. Konflik ini sebenarnya tak lepas dari politik pecah belah AS dan Barat serta Israel terhadap rakyat Palestina, sehingga memisahkan Palestina menjadi dua wilayah, yaitu Jalur Gaza yang dikuasai Hamas dan Tepi Barat yang dipimpin kelompok Fatah.
Kebijakan itu sebagai upaya untuk mendamaikan Israel dengan Palestina minus Hamas melalui perjanjian Annapolis akhir 2007. Meski akhirnya upaya Bush mendamaikan Israel dengan 'Palestina minus' itu gagal total hingga ia harus lengser pada 20 Januari mendatang.
Kini harapan ada pada pundak Obama, atau lebih tepatnya pada hati nurani suami Michelle itu untuk menghentikan pembantaian warga sipil di Gaza. PBB mengestimasi dari jumlah warga Palestina yang tewas, yaitu hampir 500 orang, seperempatnya adalah warga sipil.
Hingga saat ini belum ada tanda-tanda Israel akan menghentikan serangannya, sementara masyarakat internasional sudah serak suaranya menyerukan penghentian pembantaian itu. Sebagai penerus dan pewaris segala kebijakan George Semak-Semak, Obama sebaiknya mulai mendengarkan seruan masyarakat internasional itu untuk menyelesaikan konflik Timur Tengah, karena kalau tidak dunia akan mencibirnya sebagai antek Zionis seperti halnya Bush. Boleh saja Obama masih akan fokus pada upaya pembenahan ekonomi bangsanya, tapi bencana kemanusiaan ini juga harus menjadi tanggungjawabnya. Bukankah ia sudah berjanji ingin memperbaiki hubungan Amerika dengan negara-negara Islam?
Sekarang bukan lagi waktunya umbar janji seperti waktu kampanye lalu, tapi kini saatnya ia membuktikan bahwa tudingan mantan rivalnya, John McCain, bahwa ia tidak memiliki kemampuan dalam isu internasional adalah salah.
Ini juga akan menjadi ajang pembuktian bagi Menlu terpilih Hillary Clinton bahwa ia memang piawai dalam mengatasi isu-isu internasional seperti ia berkoar dalam kampanye pendahuluan ketika bersaing dengan Obama merebut tiket konvensi Partai Demokrat untuk melaju dalam pemilu 4 November lalu. Ayo buktikan Obama-Hillary! Kalau kalian memang bukan antek Zionis. (*)
.

Readmore »»

Kamis, 01 Januari 2009

SELAMAT TAHUN BARU 2009

Menerima kenyataan dan menerima keadaan adalah suatu sikap yang amat bijaksana. Orang akan dapat melalui keadaan yang bagaimana hebat dan sengsara sekalipun kalau memiliki sikap seperti itu. Menerima kenyataan yang ada dan menerima keadaan tanpa tenggelam ke dalam duka. Bukan berarti lalu berhenti dan jatuh, melainkan tetap ber usaha hanya tidak tenggelam ke dalam duka dan putus harapan. Kalau orang bersikap menerima kenyataan, maka akan timbul saja harapan-harapan baru dan dapat memetik hikmah dari setiap keadaan yang betapa “buruk” pun! Menerima kenyataan ini berarti iman yang sepenuhnya kepada Tuhan. Maklum bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan karena itu tidak ada yang perlu dan patut dikeluhkan lagi. Melainkan menengadah, menerima kenyataan dan menyerah kepada kekuasaan Tuhan dengan penuh keikhlasan Beginilah sikap seorang bijaksana dan sikap seperti ini membebaskan kita dari belenggu duka.
Memasuki tahun 2009 ini ada beberapa agenda penting di negara kita tercinta ini yang membutuhkan sikap bijaksana agar terbebaskan dari belenggu rasa duka dan keputus asaan. Mulai dari krisis global yang membuat hidup tambah susah, juga bagi sahabat-sahabat Saya yang sedang berjuang untuk menjadi bagian dari memperjuangkan nasib rakyat, yaitu mencoba peruntungan dengan menjadi anggota legislatif atau DPR baik itu DPR RI, Provinsi, maupun kota/kabupaten.
Sebenarnya ada juga yang paling dekat yaitu ‘pertarungan’ untuk menjadi Gubernur Jatim yang tak kunjung selesai. Entah sampai kapan ‘duel’ ini berakhir, karena agaknya pihak-pihak yang dianggap jadi wasit belum bisa memuaskan semua pihak. Satu pihak tetap saja merasa dicurangi, apakah benar ada kecurangan atau tidak? Tentu tidak penting bagi Saya. Karena sebenarnya pertarungan itu tidak ada pengaruhnya secara langsung bagi Saya.
Kalau kemudian satu pihak ada yang merasa di-dzolimi. Ini mungkin yang membuat Saya tidak sependapat. Dalam urusan mencari kekuasan tidak ada kata di-dzolimi, akhir dan awal tahun 2009 mungkin kita melihat bangsa Palestina-lah yang patut dikatakan di-dzolimi oleh Yahudi Israel.
Petarung-petarung menuju singgasana di Grahadi secara pribadi tidak Saya kenal. Apa untungnya ikut memikirkan pertarungan mereka. Apakah pertarungan mereka juga berpengaruh bagi warga Jatim? Belum tentu juga. Sekarang ini wong pakai pejabat sementara saja pemerintahan tetap jalan. Jadi, bagaimana sebenarnya kita sebagai warga Jatim menyikapi pertarungan itu? Emang gue pikirin. Mungkin jawaban seperti Gus Dur inilah yang cocok untuk pertanyaan itu.
Kemudian bagi teman-teman Saya yang berjuang menjadi pejabat atau wakil rakyat. Semoga perjuangannya sukses, perjuangan meraih sukses tidak hanya butuh doa saja, tapi juga tenaga dan duit. Bagi yang sukses tentu ucapan selamat. Selamat bekerja dan selamat memperjuangkan nasib rakyat. Bagi yang gagal, juga selamat. Selamat menerima kegagalan dengan hati lapang, dan kembali bekerja.
Tahun Kerbau Api ini merupakan tahunnya para pekerja. Tidak ada orang yang sukses tanpa bekerja. Bila ingin sukses tentu harus bekerja. Karena seperti kata orang bijak: “Rahasia besar bisa hidup sukses itu sebenarnya tidak ada. Yang ada bila ingin sukses maka kita harus mati-matian untuk bekerja” Selamat Tahun Baru 1430 H, Selamat Tahun Baru 2009. (rahmat adhy kurniawan)

Readmore »»

Inspirationa Quotation

"The big secret in life is that there is no big secret. Whatever your goal, you can get there if you're willing to work".

(Oprah Winfrey, American TV host, media mogul, and philanthropist)

kartun united





FIrman Allah SWT

"Innal hasanaat tushrifna sayyiaat" (Sesungguhnya kebaikan akan mengalahkan kejahatan) - (Hud:114).

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP