Akal Sehat Saleh Ismail Mukadar
Siapakah orang yang masih punya akal sehat di sepakbola? Saya sungguh kaget setengah mati: ternyata masih ada satu. Namanya Saleh Ismail Mukadar yang sekarang jadi ketua umum Persebaya. Tentu bukan hanya dia yang berakal sehat, tapi dia mau memperjuangkan akal sehatnya itu.
Banyak yang masih punya akal sehat tapi kebanyakan menguburkan begitu saja akal sehatnya. Pembunuhan besar-besaran akal sehat memang terjadi di dunia sepakbola kita. Sedang Saleh Mukadar melakukan gerakan menegakkan akal sehat yang masih hidup di pikirannya. Yakni ketika anggota DPRD Jatim ini menggalang dukungan untuk segera melakukan kongres PSSI mengingatb ketua umumnya yang sekarang sudah di dalam penjara lama sekali.
Memang ada yang menilai motif politik bermain juga di balik gerakannya itu, tapi apa pun motifnya (seandainya benar), sepanjang yang dilakukan adalah penegakan akal sehat, apanya yang salah? Memang Saleh adalah juga ketua umum PDI Perjuangan (peringatan: barang siapa menulis nama partai itu dengan hanya PDI-P kader partai itu langsung tahu bahwa anda bukan orang PDI Perjuangan. Kata 'perjuangan', menurut orang asli partai itu, harus ditulis lengkap seperti apa adanya karena kalau hanya ditulis 'P' bisa diplesetkan ke mana-mana) Surabaya. Tapi sisi Saleh mengenai perjuangan perlunya kongres PSSI ini seperti telah mewakili massa akal sehat yang tidak tersuarakan selama ini. Bahkan kalau saja bisa dilihat dengan ilmu laduni. Pasti banyak arwah akal sehat di sepakbola yang bangkit dari kuburnya untuk mendukung gerakan Saleh itu.
Sudah lama saya tidak tertarik ngurusi sepakbola karena merasa ngeri: di mana-mana terjadi pembunuhan besar-besaran -pembunuhan akal sehat. Pembicaraan mengenai PT Persebaya dulu itu, misalnya, bukti betapa akal sehat terbunuh oleh emosi dan romantisme.
Tapi dalam hati kecil saya juga mengakui bahwa mungkin saja seorang tokoh sepakbola baru bisa terkenal justru kalau membunuh akal sehatnya. Mereka terkenal bukan sebagai pembunuh, tapi sebagai pahlawan. Betapa kemudian terbukti bahwa nama-nama pemain sepakbola kita kalah terkenal dengan pengurusnya -hanya karena pengurusnya sering melakukan pembunuhan itu.
Sebaliknya, bagi yang mau menegakkan akal sehat namanya tidak bisa terkenal, misalnya, karena tidak bisa jadi juara. Saat saya jadi manajer Persebaya atau ketua harian Persebaya dulu, saya tidak pernah mau berusaha menyuap wasit. Desakan untuk melakukannya luar biasa besar. Mereka mengatakan, semua orang melakukan itu. Kalau tidak jangan harap bisa jadi juara.
Waktu itu saya punya prinsip begini: untuk apa latihan selama satu tahun dengan biaya yang begitu besar kalau ujung-ujungnya ditentukan oleh satu orang wasit di pertandingan final atau semifinal? Mengapa kemenangan harus ditentukan dengan uang sekitar Rp 25 juta? Mengapa tidak nyogok saja Rp 1 miliar asal pasti bisa jadi juara? Bukankah Rp 1 miliar lebih hemat daripada Rp 10 miliar untuk biaya latihan dan tetek bengeknya?
Saya sungguh-sungguh tidak bisa menerima kenyataan bahwa latihan yang sungguh-sungguh, pelatih yang hebat, trategi main yang cerdas, dikalahkan dengan uang yang hanya Rp 25 juta. Tapi, yah, itulah. Kalau mau juara dan terkenal, yang begitu-begitu itu yang harus dilakukan!
Hal lain yang saya pakai alat menolak usulan menyuap wasit adalah juga ini: katakanlah suap itu distimulir (saya pakai istilah ini meski akan disalahkan oleh ahli tatabahasa) oleh suara yang mengatakan bahwa wasitlah yang menginginkan. Tapi saya juga percaya bahwa suara yang sama juga disampaikan kepada lawan tanding kita. Tidak mustahil, wasit menerima janji dari dua-duanya, sehingga siapa pun yang memang dia tidak 'kecopetan' Rp 25 miliar. Istilah 'kecopetan' ini begitu populernya di sepakbola kita untuk menyebut hilangnya uang yang sebenarnya belum menjadi miliknya, tapi potensial dia miliki.
Kita, para pemilik akal sehat, tentu akan mendukung penuh gerakan yang dipromotori Saleh Mukadar. Kita lebih bangga lagi kalau di bidang-bidang lain pun Saleh bisa menjadi tokoh penegakan akal sehat juga…. (dahlan iskan)
*artikel ini dimuat harian Radar Surabaya, 12 April 2008 dalam kolom Penegakan Akal Sehat yang diasuh oleh Chairman Jawa Pos dan Dirut Radar Surabaya, Dahlan Iskan. .
0 komentar:
Posting Komentar