Perubahan sistem ekonomi adalah misi besar yang digadang-gadang sang Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Prabowo beralasan kapitalisme-liberal adalah sistem ekonomi yang salah sehingga harus dirombak. “Resesi ekonomi global adalah bukti kegagalan pasar bebas tanpa kendali, sistem kapitalisme tanpa kendali,” katanya di seminar yang digelar Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia, pada Rabu, 11 Maret 2009.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) itu sedang berada di atas angin. Krisis keuangan dan resesi ekonomi global telah menimbulkan sorotan tajam terhadap sistem kapitalis. Yang pedas dikritik bukan cuma kejatuhan bursa saham Wall Street, simbol kapitalisme dunia. Di dalam negeri, kelompok penentang kapitalisme-liberal semakin mendapat panggung.
Saat Prabowo meluncurkan buku “Membangun Kembali Indonesia Raya” pada Kamis lalu, 12 Maret, suasana Hotel Dharmawangsa terasa marak. Sejumlah rektor, profesor, elit partai dan wakil asosiasi binaan Prabowo hadir di ball- room hotel yang disulap penuh nuansa merah itu. “Saya ingin mengubah vonis bahwa negeri ini akan terus miskin,” kata Prabowo.
Tepuk tangan membahana. Jenderal Prabowo yang dulu pernah dijauhi setelah dinyatakan terlibat penculikan sejumlah aktivis pro-demokrasi, kini menjadi magnet yang menyedot perhatian sementara kalangan.
Enam hari kemudian, 18 Maret, giliran kelompok Indonesia Bangkit meluncurkan buku "Ekonomi Konstitusi" di Hotel Four Seasons, Jakarta. Di sini sejumlah ekonom juga berkumpul. Terlihat ada Iman Sugema, Hendri Saparini, Revrisond Baswir, Ichsanuddin Noorsy dan lainnya. “Indonesia jangan pakai tim ekonomi “teh botol” (teknokrat bodoh dan tolol),” ujar Iman mengejek ekonom yang berhaluan neoliberal—mereka yang pro pasar bebas, rezim perdagangan tanpa sekat negara, serta peran pemerintah yang minimal dalam sistem ekonomi.
Para ekonom ini dikenal menganut paham yang cenderung sosialis, nasionalistis, dan menginginkan peran negara yang lebih besar sebagai lokomotif perekonomian nasional.
Endang S Thohari dari Institute Garuda Nusantara—kelompok-pemikir yang didirikan Prabowo—turut hadir di sana. Menurut Endang, mereka tengah bahu membahu menggusur paham neoliberal. “Berjuang bisa di mana saja, yang penting tujuannya sama.” Dibekingi Prabowo, upaya kelompok ini terus bergulir.
Prabowo menyatakan tak main-main dengan gagasan besarnya. Ia mengisahkan, tekadnya menggebu setelah dia dipensiun paksa pada 1998. Saat itu ia banting setir jadi pengusaha membantu adiknya, Hashim Djojohadikusumo, yang berkibar sebagai pengusaha minyak di Kazakhstan.
Saat tinggal di Amman, Yordania, dia terperangah membaca sebuah laporan Van Zorge, konsultan politik dan bisnis di Jakarta mengenai kekayaan Indonesia yang menguap dari Bumi Pertiwi. Menurut taksirannya, dalam tempo 10 tahun sejak 1997, tak kurang dari US$ 250 miliar devisa ekspor telah terbang ke luar negeri.
Prabowo seperti mendapat amunisi kembali. Sejak 2003, dia sibuk berkeliling mengkampanyekan dampak buruk sistem kapitalisme-liberal. Setahun kemudian dia menulis buku berjudul “Kembalikan Indonesia” yang mengecam habis-habisan sistem ekonomi liberal.
Putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu terus merangsek. Dia lalu menghimpun para ekonom, ahli pertanian, pengusaha dan pakar industri. Selama belasan bulan sejak 2007, Prabowo terlibat dalam berbagai diskusi intensif dengan kalangan ini. Dia kerap mengundang Kwik Kian Gie, Sri Edi Swasono, Bungaran Saragih (mantan menteri pertanian), Prasetyantoko (ekonom Atmajaya), Hendri Saparini, dan lainnya.
Kwik dan Prasetyantoko mengaku memang sering diundang Prabowo. “Saya beberapa kali datang ke rumahnya untuk diskusi dan memberi masukan,” ujar Kwik kepada VIVAnews, “Apa yang diiklankan Prabowo itu sama dengan pemikiran saya.”
Untuk menerjemahkan pandangannya, Prabowo dibantu Hashim, Rachmat Pambudy (ekonom IPB), Endang S Thohari (doktor Prancis ahli pedesaan), Widya Purnama (mantan Direktur Utama Pertamina), dan Rauf Purnama (mantan Direktur Utama PT Asean Aceh Fertilizer). Mereka semua tergabung dalam Institut Garuda Nusantara.
***
Konsep ekonomi ala Prabowo ini—kini populer disebut Prabowonomics— kemudian dituangkan dalam buku “Membangun Kembali Indonesia Raya” setebal 209 halaman. Isinya mengelu-elukan konsep pembangunan ekonomi berbasis ketahanan pangan, kedaulatan energi, serta industri nasional yang bernilai tambah. Prabowo memimpikan perekonomian yang berlandaskan sumber daya domestik—seperti sumber alam, sumber daya manusia, dan sumber dana—serta pasar domestik yang besar, 230 juta penduduk Indonesia.
Di atas itu, Prabowo menjanjikan sejumlah program maha ambisius. Di bidang pangan, dia berikrar akan membuka sawah dan kebun jagung masing-masing sejuta hektare, membangun pabrik pupuk urea, menambah pasokan bahan bakar gas, serta membangun infrastruktur desa.
Di bidang energi, dia berpromosi bakal mengganti bahan bakar minyak fosil dengan sumber energi nabati. Belum habis, dia juga berjanji akan membuka 4,4 juta ha kebun aren untuk bahan baku produksi bioetanol, membangun pabrik bio-etanol berbahan baku singkong, serta mendirikan pembangkit tenaga panas bumi.
Untuk sektor industri, dia bilang bakal menggeber industri makanan, tekstil, sepatu, agroindustri, serta sumber alam yang bernilai tambah, seperti migas, tambang, energi dan komoditas. “Kita jangan cuma ekspor buah coklat dan biji sawit mentah-mentah, tetapi sudah dibuat pabrik bernilai tambah di sini,” kata Endang.
Tim Prabowo percaya sektor-sektor itu mampu menggenjot pertumbuhan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2008, sektor pertanian menyumbang 14,68 persen produk domestik bruto (PDB). Ini masih kalah dari sektor industri pengolahan. Namun, jika agroindustri digabung, maka sektor pertanian akan menjadi penyumbang terbesar kue ekonomi nasional.
Supaya program itu berjalan, Prabowo mengajukan sejumlah resep. Di antaranya adalah mengerahkan BUMN sebagai lokomotif pembangunan di sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. Kebijakan fiskal dan moneter akan dipusatkan ke sana. Pembayaran hutang luar negeri dijadwal ulang untuk menambah persediaan dana untuk melumasi berbagai program raksasa itu. Selain itu, ini dia, lahan kritis akan dibagi-bagikan ke petani.
“Pemerintah jangan cuma jadi wasit, tetapi harus turun tangan jadi lokomotif ekonomi,” kata Prabowo. Dia memberi contoh pemimpin China Deng Xiaoping yang menjadikan lembaga pemerintah dan BUMN sebagai motor penggerak, sehingga ekonomi mereka bertumbuh di atas 10 persen.
Dengan berbagai konsep ini, tim Prabowo hakulyakin pada 2011 ekonomi nasional bakal tumbuh 8-9 persen. Tak cuma itu, dua tahun kemudian mereka bermimpi angka pertumbuhan akan melesat ke level di atas 10 persen. Jika itu terjadi, begitu mereka bermimpi, saat Republik berulang tahun ke-100 pada 2045, pendapatan per kapita Indonesia akan mencapai, jangan kaget, US$ 60 ribu atau Rp 720 juta per tahun.
***
Bagi kubu ekonom pro-Prabowo, ambisi itu mereka nilai realistis. Hendri Saparini, Iman Sugema, Dradjad Wibowo, Kwik Kian Gie, dan Revrisond Baswir, menilai Prabowonomics bisa dilaksanakan asal ada perubahan paradigma ekonomi.
“Argentina yang penduduknya lebih sedikit bisa tumbuh 8 persen,” kata Dradjad. Meski juga mengaku bersepakat, Revrisond toh buru-buru mengingatkan, “Yang penting, jangan cuma jadi jargon kampanye saja.”
Tanggapan berbeda datang dari kubu ekonom neo-liberal. Mereka mengritik program Prabowo bak mimpi di siang bolong. Para ekonom jebolan Universitas Indonesia, seperti Muhammad Ikhsan, Chatib Basri, Adrian Panggabean, serta Purbaya Yudhi Sadewa dari Danareksa, meragukan target pertumbuhan ekonomi 10 persen itu. “Terlalu ambisius,” kata Ikhsan. Adrian dan Chatib mempertanyakan bagaimana angka itu dihitung.
Yudhi juga mewanti-wanti rencana Prabowo merestrukturisasi utang luar negeri. Jika dilakukan, menurutnya itu akan jadi pertaruhan besar bagi Indonesia. “Resikonya besar. Pasar modal, obligasi dan kurs rupiah akan hancur,” kata Kepala Ekonom Danareksa Research Institute ini. “Jadi, kalau tak bayar utang, ekonomi Indonesia akan hancur.”
Untuk sementara ini, Prabowonomics masihlah sebatas mimpi—yang dianggap menjanjikan oleh sementara kalangan, dan dikecam sebagai ilusi oleh sejumlah pihak yang lain. Buktinya masih harus ditunggu. Itu pun jika purnawirawan jenderal berbintang tiga ini berhasil menang pemilu. Maka tak ada yang lebih tepat ketika Prabowo, masih dengan suara serak, merayu para pemilih di Kota Padang, “Agar konsep ini jalan, perlu kehendak politik. Karena itu, saya minta mandat dari rakyat.” .
Readmore »»