Jujur itu Sulit atau Mudah
Entah penyakit apa yang sedang melanda kita sekarang ini. Orang pandai atau pintar ternyata tidak ada bedanya dengan orang awam atau bodoh sekali pun. Semua itu bisa kita lihat dari berbedanya hasil dua sigi politik yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Lembaga Riset Indonesia (LRI), yang namanya lembaga survei tentu berisi orang-orang pintar. Tidak mungkin kan orang bodoh bisa diterima kerja di sebuah lembaga survei.
Yang lucu dan kemudian ironis, survei dilakukan pada kurun waktu yang sama tetapi hasil yang ditampilkan jauh berbeda. Tengok saja, survei terbaru LSI pada 8-18 Februari 2009 terhadap jumlah sampel 2.455 dengan margin of error +/- 2,4 persen pada tingkat 95 persen menunjukkan partai Demokrat masih berada di atas dengan 24,3% suara. Posisi kedua ditempati PDIP dengan 17,3% dan Golkar posisi ketiga mendapatkan 15,9% suara.
Lalu bandingkan dengan hasil riset LRI. Survei LRI yang waktunya hampir bersamaan pada 8-16 Februari 2009 dengan sampling error 2,23% pada tingkat kepercayaan 95 persen menunjukan, Golkar menempati posisi pertama dengan 20,1%. Posisi kedua ditempati Demokrat 15,5% dan posisi ketiga diraih PDIP 15,3%. Sekali lagi bagi orang awam atau bodoh, hasil dua survei 'gak ngefek'.
Yang ribut ternyata orang-orang pintar lainnya yang menjadi anggota atau petinggi parpol. Akibatnya sudah pasti, saling tuding pun tidak bisa dihindari. Pihak LSI menuduh sampel yang diambil LRI bermasalah, begitu juga sebaliknya. Yang lebih menyedihkan, satu pihak menuding pihak lainnya sudah dibeli oleh parpol tertentu alias survei itu berdasarkan pesanan, demikian juga pihak yang lainnya menuding sama.
Saling tuding antara LSI vs LRI ini pun memantik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persopi) bereaksi. Ironisnya lagi salah satu pihak menganggap angin lalu keinginan Persopi yang ingin mendudukkan dua lembaga survei itu di satu meja untuk ngomong: “yok enake, yok apike,” meminjam gaya gaul Suroboyoan.
Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah lembaga survei itu independen? Kalau jawaban saya tergantung, jawaban orang lain mungkin, tidak. Pasti yang lain ada yang menjadi ya, independen. Siapa yang benar? Jujur saja yang bisa menjawab tentu lembaga survei itu sendiri. Mereka menjawabnya dengan jujur atau tidak, itu terserah. Karena dari satu sisi lembaga survei saat melakukan riset tidak pernah menjelaskan kepada publik siapa yang mendanai riset itu, ini saja mereka sudah tidak jujur, biar saja masyarakat yang menilai.
Metodologi tidak lagi dapat menjadi patokan utama dalam memahami hasil survei. Dengan memaparkan siapa pemodal survei maka akan membantu masyarakat untuk memberikan penilaian. Dapat dilihat dari kejujuran dan integritas, serta profesionalismenya. Tapi ini susah diukur.
Yang pasti saya pribadi tidak mempercayai produk survei. Alasannya, ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi hasil survei termasuk kepentingan politik di balik sebuah survei. Jangan percaya dan berpegang pada hasil survei atau polling. Karena hasil survei bukanlah hasil realisasi dari apa yang dinilai masyarakat. Hanya lebih kepada prediksi. Bila survei menunjukkan hasil yang sebenarnya, kita tidak perlu mengadakan pemilu dong!.
Ada atau tidak kepentingan politik di balik survei memang belum bisa dipastikan kasat mata. Tetapi, patut diingat, realitas yang terjadi, hasil survei ini kemudian digunakan parpol untuk berkampanye dan berusaha menggiring opini serta preferensi politik masyarakat.
Salahkah? Jawabnya memang tidak. Yang ada hanyalah kegetiran melihat publik selalu berusaha dibodohi tanpa diberi pendidikan politik yang sehat, beretika, santun dan memadai. Sekali lagi dalam hal ini jujur itu memang sulit. (*).
0 komentar:
Posting Komentar