Rabu, 11 Februari 2009

Pers Perjuangan, "No Way"

by Rosihan Anwar

tibalah Hari Pers Nasional (HPN) 2009, diperingati di Jakarta dengan tema, "Kemerdekaan pers dari dan untuk rakyat," pada 7-10 Februari 2009. HPN, kali ini, dipimpin oleh Ketua Umum PWI Pusat Margiono, yang menggantikan Tarman Azzam.
Pada Konvensi Nasional Media Massa se-Indonesia 8 Februari, dibahas tiga topik, yakni "Arsitektur ekonomi nasional di tengah krisis ekonomi global", "Penelusuran pers perjuangan Indonesia, bagaimana peranan idealisme pers di tengah makin canggihnya teknologi media sekarang ini", dan "Pers perempuan". Tanggal 9 Februari dibahas dua topik, yakni "Peran media massa dalam menciptakan pemilu legislatif 2009 dan pilpres langsung 2009 secara berkualitas, " serta Mencegah
kriminalisasi atas karya jurnalistik.
Puncak acara bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah "Malam Pers Perjuangan" di Tenis Indoor Senayan, 9 Februari. Pada acara itu, winning award diserahkan kepada Presiden Yudhoyono atas kesediaannya memberikan contoh benar dalam menempuh jalur hukum tatkala dihadapkan
pada kasus pers, kepada mantan Presiden BJ Habibie atas inisiatif policy dibukanya kemerdekaan pers; dan kepada pemenang Anugerah Jurnalistik Adinegoro.
Pada hemat saya, sebutan pers perjuangan yang dipakai oleh PWI tidak lagi tepat. Pers sekarang sudah kehilangan rohnya. Pers perjuangan yang dikenal dalam sejarah pergerakan nasional menentang kolonialisme Belanda ialah pers yang membela rakyat terhadap penjajahan, penindasan dan kezaliman, yang berjuang untuk kemerdekaan, sehingga rakyat memperoleh martabat kemanusiaan (human dignity), mampu hidup secara memadai, bebas dari gangguan kemiskinan, kesakitan, keterbelakangan,
dan kebodohan.
Pers perjuangan tidak ada lagi. sejak Peristiwa Malari 1974 di mana sejumlah surat kabar yang berpredikat pers perjuangan dilarang terbit, atau mengutip ucapan Presiden Soeharto kepada Menteri Penerangan Mashuri, dipateni wae (dibunuh saja). Pers sekarang ialah pers kapitalis, kalau bicara secara jujur terbuka. Pers yang bekerja untuk mencari laba/ profit. Pers yang bersaing untuk mendapatkan penghasilan dari iklan sebanyak-banyaknya. Pers yang sebagian besar dibaca oleh
golongan kelas menengah.

Kesejahteraan Wartawan

Manajemen pers kapitalis kurang mengindahkan keadaan keuangan dan kesejahteraan wartawan/karyawan, sehingga gaji mereka sering tidak mencukupi. Kekurangan gaji adalah salah satu sebab munculnya wartawan amplop dan wartawan pemeras.
Laksamana Sudomo semasa menjabat Menteri Tenaga Kerja pernah mengusulkan agar PWI menjadi serikat buruh (trade union) yang bisa memperjuangkan soal gaji dan nasib wartawan. Usul itu ditolak oleh Harmoko, Ketua Umum PWI Pusat, waktu itu. Alasannya, PWI adalah organisasi profesional. Sebagai mantan Ketua Umum PWI Pusat (periode 1970-1973) saya setuju bila PWI dijadikan serikat buruh, tapi pendapat saya dianggap sepi.
Organisasi wartawan yang saya lihat gigih mempersoalkan gaji wartawan ialah AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Kalau ingatan saya masih bagus, maka AJI Bandung mengusulkan agar wartawan di sana minimal gajinya dua sampai tiga juta rupiah sebulan. Tapi, rupanya koran itu secara ekonomis tidak cukup kuat membayar gaji sejumlah itu. Hanya koran yang telah mantap, tergolong pers kapitalis, punya kemampuan membayar wartawannya lebih baik.
Para wartawan pers kapitalis hidup nafsi-nafsi dalam sangkar mereka. Dalam pers kapitalis tidak ada solidaritas/ setiakawan wartawan. Yang bekerja pada koran "senin- kemis", sengsaralah dia secara kolektif.
Penampilan pers kapitalis bagus sekali. Koran terbit minimal 20 halaman tiap hari, mencapai 40 halaman pada waktu tertentu. Gambar dan cetak berwarnanya kayak technicolor (menguti ucapan RH
Siregar, alm). Isinya ditata menurut segmentasi pembaca. Penyajiannya menurut gaya tabloid-ism dengan aspek infotainment. Sikapnya mengikuti semboyan tabloid Inggris The Daily Mirror yang bertiras jutaan lembar: Publish and be damned". Artinya: "Siarkan dan terkutuklah kau!"
Saya tidak menyalahkan siapa-siapa, karena adanya pers kapitalis di tengah kita sekarang adalah produk zeitgeist (semangat zaman), wujud globalisasi dunia. Saya tidak kecil hati bila tulisan saya yang
dikirim ke redaksi koran-koran tidak diperhatikan oleh wartawan generasi muda, karena menganggap tulisan saya sudah kuno, kerjaan wartawan gaek.
Tapi, saya bersyukur masih diundang oleh PWI Pusat menghadiri HPN 2009 berkat karunia Tuhan yang memberikan umur panjang, sehingga dimulai dengan menyaksikan sendiri berdirinya PWI di Solo 9 Februari 1946 sampai dapat mengikuti perkembangan PWI selama 63 tahun. Saya pikir
pers cetak masih akan eksis, walau konkurensi internet, koran on-line, blogger, dan citizen journalism makin terasa.
Sebagai penutup menyambut HPN 2009 janganlah lagi pakai sebutan pers perjuangan. Rohnya, its soul, sudah lenyap ditelan sang kala. Pers perjuangan: no way. Pers kapitalis: itulah dia, tahan tuh!
*Penulis adalah Wartawan Senior
.

0 komentar:

Inspirationa Quotation

"The big secret in life is that there is no big secret. Whatever your goal, you can get there if you're willing to work".

(Oprah Winfrey, American TV host, media mogul, and philanthropist)

kartun united





FIrman Allah SWT

"Innal hasanaat tushrifna sayyiaat" (Sesungguhnya kebaikan akan mengalahkan kejahatan) - (Hud:114).

  © Blogger template Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP