Uji UU Pemilu Soal Pembredelan Media Massa
Mengapa orang yang bersemangat berkarya, memberi alternatif berita, pemikiran, dan menciptakan lapangan pekerjaan baru, justru dihabisi melalui pencabutan ijin penerbitan media massa. Jika masih ada pilihan lain untuk menghukum wartawan yang salah, janganlah dilakukan dengan memenjarakan wartawan dan membredel medianya. Konstitusi membolehkan orang berpikir dan berkarya.
“Kami sangat menentang pencabutan ijin itu,” tegas Marah Sakti Siregar, Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia, dalam kesaksiannya di persidangan uji Pasal 98 dan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), Kamis (5/2), di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Marah pernah menjabat sebagai redaktur eksekutif Majalah Editor yang pada 21 Juni 1994 dibredel bersama Majalah Tempo dan Tabloid Detik, oleh Pemerintah. “Kami dianggap bersalah dan jadi anak yang badung,” kisahnya dalam perkara 32/PUU-VII/2009 yang dimohonkan oleh, antara lain, Pemred Harian Terbit Tarman Azzam, Pemred Harian Sinar Harapan Kristanto Hartadi, Pemred Harian Suara Merdeka Sasongko Tedjo, Pemred Harian Rakyat Merdeka Ratna Susilowati, Pemred Media Bangsa Badiri Siahaan, Pemred Harian Koran Jakarta Marthen Selamet Susanto, Pemred Harian Warta Kota Dedy Pristiwanto, Pemred Tabloid Cek dan Ricek Ilham Bintang. Mereka memberikan kuasa khusus kepada Torozatulo Mendrofa, SH, Advokat dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum PWI Pusat.
Ada kemarahan, kejengkelan, dan kesedihan, lanjut Marah. Bagi wartawan, pembredelan itu sebuah penderitaan luar biasa karena sebelumnya sudah berhari-hari mengejar berita. pengakuan Marah ini mewakili alasan para Pemohon yang utamanya mempermasalahkan klausula dalam UU Pemilu yang menyatakan media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye.
Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut tidak menjelaskan bagaimana solusinya jika ada peserta kampanye yang tidak mempunyai uang atau tidak ada pihak yang mau bekerjasama dalam bentuk iklan layanan masyarakat dengan peserta kampanye yang bersangkutan, sementara undang-undang mewajibkan pelaku media memberikan kesempatan yang sama. Jika menolak, media akan dikenai sanksi pembredelan. Di sisi lain, iklan adalah sumber pembiayaan berlangsungnya perusahaan pers.
Usai kesaksian Marah soal pembredelan, Ahli dari Pemohon, Wikrama Irians Abidin, Anggota Dewan Pers, menegaskan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers tidak berwenang menjatuhkan sanksi berupa pencabutan ijin terbit bagi media massa, sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu. Jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), sebenarnya tidak bisa lagi dilakukan pembredelan karena dalam UU Pers tidak dikenal adanya surat ijin terbit. “Pasal 98 (UU Pemilu) secara hukum merupakan hukum positif, tapi tidak bisa dilaksanakan karena obyeknya (surat ijin red.) tidak ada,” paparnya.
Peran Dewan Pers, lanjut Wikrama, berdasarkan Pasal 15 UU Pers, ialah sebagai lembaga yang menyelesaikan persoalan akibat pemberitaan pers, melalui mediasi yang terbatas di bidang moral atau etika pers. “Ketika undang-undang (Pemilu) yang baru ini memberi wewenang (bagi Dewan Pers) mencabut ijin media cetak, ini suatu hal yang mustahil,” ujarnya.
Sementara itu, terkait sanksi pembekuan dan pembredelan yang diatur dalam Pasal 99 UU Pemilu, Wikrama menyatakan menolak berlakunya pasal itu dengan mendasarkan pada pendapat Profesor Senoadji yang menyatakan kemerdekaan pers akan terwujud apabila, pertama, tidak ada pembredelan atau upaya paksa melarang terbit. Kedua, tidak ada lagi surat ijin terbit. Ketiga, tidak ada lagi pembatasan. “Pasal 99 (UU Pemilu) cenderung berarorama bertentangan dengan prinsip kemerdekan pers,” ungkapnya.
Kemerdekaan pers, lanjut Wikrama, bukan kemerdekaan absolut, tapi harus dilindungi sejauh tidak melanggar hukum, etika, dan dilaksanakan secara profesional.
Senada dengan Wikrama, Ahli dari Pemohon, Jhonson Panjaitan, seorang advokat dan pembela Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa pembredelan dan sensor tak boleh terjadi lagi karena hak informasi juga menjadi hak pendidikan bagi rakyat.
Jhonson, yang pada 1994 ikut serta membela hak korban pembredelan, menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 98 UU Pemilu, institusi yang awalnya dibuat negara (pemerintah) untuk menegakkan HAM, pada akhirnya berpotensi menjadi institusi pelaku pelanggar HAM jika mencabut ijin dan melakukan sensor.
Jhonson juga menyatakan mengerti dengan maksud penyusun Pasal 99 UU Pemilu, yaitu dalam rangka memangkas diskriminasi bagi para pengiklan (parpol dan calon legislator) dengan memberi kesempatan yang sama untuk beriklan. “Tapi saya kira terlampau sangat berbahaya dengan menghidupkan pembredelan dalam undang-undang pemilu ini,” urainya.
Dalam opini yang berseberangan, Ahli dari Termohon, Ahmad Ramli, menjelaskan bahwa pemerintah tidak meragukan kebebasan pers karena bersifat mutlak dan menjadi salah satu pilar demokrasi. Namun, jelas Ramli, tidak ada institusi yang tidak membatasi dirinya. “Selalu ada rules yang membatasi dirinya (institusi red.),” papar Ramli.
Ramli juga menegaskan bahwa persidangan di MK ini bukanlah forum yang mempertentangkan undang-undang dengan undang-undang lain. Kontradiksi antara UU Pemilu dan UU Pers ini menjadi wewenang Pemerintah dan DPR untuk melakukan harmonisasi, atau di Mahkamah Agung untuk penerapan lex specialis deorgat legi generalis. “Domain MK hanyalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,” katanya.
Dengan UU Pemilu ini, Ramli mengatakan bahwa pers tak perlu takut dibredel karena pers tak perlu ijin untuk menerbitkan media. “Dalam praktek, undang-undang (pemilu) ini tidak boleh berjalan sendiri. Undang-undang ini harus diimplementasikan dalam peraturan yang ditetapkan KPU, KPI, dan Dewan Pers,” jelas Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ini.
Mengapa Pasal 99 UU Pemilu menerapkan sanksi keras? Menurut Ramli hal ini menjadi salah satu upaya menyeimbangkan keadaan yang ada dengan memberikan hak kepada semua partai untuk berkompetisi. Untuk itu, para pengiklan dibatasi dengan durasi dan tidak boleh mem-blocking segmen tertentu. “Kalau blocking diberikan, maka (parpol dan caleg) yang lain tidak bisa masuk (beriklan red.). Pembuat undang-undang mengangap hal ini bersifat prinsipiil supaya tidak terganggu dalam berkompetisi,” ungkapnya.
Usul Ramli, yang harus dibahas lebih lanjut ialah kapan penerbitan itu masuk kriteria pers, dan jika tidak masuk ke koridor itu, maka harus diberikan pembatasan. Sanksi yang detail, eksplisit, dan definitif yang diatur dalam Pasal 99 UU pemilu menjadi upaya mendorong pers menjadi profesional.
Sementara itu, menurut Jhonson, akan berbahaya jika profesionalitas didasarkan pada sanksi, bukannya pada kapabilitas. Iklan itu transaksi, maka menurut Johnson, jangan hanya pers yang diatur tapi juga pembuat iklan, partai-partainya. Pengaturan harus dibuat rinci antara pers dan partainya atau individu yang terlibat dalam kampanye. “Jika ada pelanggaran, jangan hanya persnya saja yang dibawa ke pengadilan tetapi juga pemasang iklan, dan membuka constitutional complaint pada masyarakat yang dirugikan,” usul Jhonson.
Menanggapi wewenang Dewan Pers dan KPI memberikan sanksi, Ramli sependapat dengan Wikrama bahwa itu bukan menjadi wewenang Dewan Pers, tapi pengadilan. Hal ini menjadikan Dewan Pers tidak siap dan tidak kompeten. Sementara pengadilan, jangankan mencabut ijin, mengeksekusi mati orang saja, boleh. UU Pers tidak memberikan kemungkinan bagi pengadilan menutup usaha pers, tapi UU Pemilu memungkinkan hal itu. “Mencabut ijin sama dengan menghukum mati seseorang, maka pengadilan adalah pintu terakhir kita,” urainya.
Sidang berikutnya akan digelar Selasa (24/2), dengan agenda pembacaan putusan. “Sebelum itu, kami harap kesimpulan sudah masuk ke kepaniteraan MK hari Selasa (17/2) jam 12 siang,” kata Ketua MK, Moh. Mahfud MD. (diambil dari www.mahkamahkonstitusi.go.id).
0 komentar:
Posting Komentar