Eropa Mulai Tolak Kaum Minoritas
Keberadaan kelompok masyarakat minoritas di negara-negara Uni Eropa kini terancam. Peta politik di Eropa tampaknya semakin condong ke kanan. Partai-partai kanan tengah meraih hasil memuaskan dalam pemilihan parlemen Eropa, mengalahkan partai-partai kiri. Partai-partai antikelompok minoritas dan antiimigran memang menuai kesuksesan di pemilu Eropa. Padahal, jumlah pemilih hanya 43% alias angka paling rendah sejak pemilu dimulai 30 tahun lalu.
Bahkan, di Belanda Partai Kebebasan (PVV) pimpinan Geert Wilders, yang dikenal sangat anti-Islam meraih 20% suara. Begitu pula Partai Rakyat, yang dikenal sebagai partai ultrakonservatif Denmark. Juga Partai Nasional Inggris, yang dikenal sebagai partai rasis, untuk pertama kalinya meraih kursi di Parlemen Eropa (dua kursi).
Posisi mereka jauh mengungguli partai-partai kiri yang selama ini menjadi tempat bersandar para imigran dan kaum minoritas. Partai Buruh di Inggris, Partai Sosial Demokrat di Jerman, dan Partai Sosialis di Prancis mengalami kekalahan.
Partai Rakyat Eropa (EPP), yang berhaluan kanan tengah, diperkirakan akan terus menguasai parlemen. Sehingga, akan tetap membuat Jose Manuel Barroso menjabat Presiden Komisi Eropa.
“Secara umum, hasil ini merupakan kemenangan tak terbantahkan bagi partai-partai dan calon-calon yang mendukung proyek Eropa. Juga yang ingin melihat Uni Eropa mewujudkan kebijakan sebagai jawaban atas permasalahan sehari-hari mereka,” kata Barroso.
Bukan hanya kanan tengah, sejumlah partai ekstrem kanan dan antiimigran menang telak di 10 negara anggota Uni Eropa. Peningkatan paling besar terjadi di Belanda dan Austria. Di Austria, tiga partai ekstrem kanan menang dengan program kampanye yang menekankan penolakan atas kaum imigran.
Pemimpin Partai Sosialis, Martin Schulz mengatakan, kekalahan partainya akan dianalisis lebih lanjut. “Ini hal yang menyedihkan bagi demokrasi sosial di Eropa. Kami khususnya sangat kecewa. Ini hal yang pahit bagi kami semua,” ujarnya.
Lalu, apakah hal-hal tersebut di atas juga menggambarkan tren yang terjadi di Eropa secara luas? Belum tentu. Sebut saja partai ekstrem kanan Prancis Front Nasional yang kalah telak. Selain itu, partai ekstrem kanan Belgia Vlaams Belang setelah bertahun-tahun hasilnya naik, kali ini hanya mendapat separuhnya.
Menurut pengamat Eropa dari Universitas Sabanci, Istanbul, Turki, Joost Lagendijk menyebut, fenomena ini menunjukkan gambaran beragam. Sebab, partai ekstrem kanan tua tidak dalam kondisi bisa mengikat para pemilih.
Menurut mantan anggota parlemen Eropa ini, Front Nasional dan Vlaams Belang sudah menjadi partai yang berkuasa, walaupun mereka sendiri mengingkari. Hal itulah yang menjadi kekurangan. Dalam jangka panjang, menurutnya, akan banyak partai ekstrem kanan yang akan menghadapi pertanyaan: Apa yang sudah Anda lakukan? “Kalau jawabannya tidak banyak, para pemilih akan kabur," papar Lagendijk.
Kecenderungan ke arah kanan, mungkin bisa dijelaskan secara logika. Di antaranya, karena krisis keuangan dunia membuat pengangguran meningkat di banyak negara Uni Eropa. Sehingga, ketakutan akan kehilangan pekerjaan, diterjemahkan menjadi seruan untuk membatasi imigran.
Namun, pemikiran bahwa partai antiimigran sukses di mana-mana, lanjut Lagendijk, bukanlah sebuah keniscayaan. “Coba lihat Spanyol dan Yunani. Di sana migrasi bukan masalah, walaupun tingkat pengangguran dan arus imigrasi tinggi. Di Italia itu lebih jadi masalah. Di sana partai antiimigran seperti Lega Nord memang menang pemilu,” jelasnya.
Lalu bagaimana dengan kemenangan partai-partai ultranasionalis dan antiminoritas? Contoh terbesar adalah kemenangan besar PVV pimpinan Geert Wilders. Ia pada 2008 lalu dikenal karena membuat kontroversi dengan membuat video berjudul Fitna yang berisi provokasi tentang agama Islam.
Menurut Lagendijk, kemenangan moral politisi semacam Geert Wilders, terutama tergantung apakah mereka bisa mengubah debat nasional soal migrasi dan Islam. Sebab, di Brussels, menurut perkiraan, mereka tidak akan banyak mengubah keadaan. Sebab, partai ekstrem kanan cenderung tidak kooperatif di antara sesama mereka atau bergabung dengan koalisi besar di Parlemen Eropa.
Nah, ini yang terjadi di Eropa partai-partai yang mengusung anti-Islam dan anti-Imigrasi sudah mulai mendapat tempat. Apakah ini pertanda masyarakat Eropa tidak lagi mau menerima Islam karena pesaing utama dan juga kolega utama mereka, AS, sudah mulai mendekat ke Islam? Kita lihat saja nanti. (*) .
0 komentar:
Posting Komentar