Tantangan Globalisasi bagi Guru Indonesia
Negara yang tidak menghasilkan lulusan tingkat dunia akan terjungkal di arena persaingan. Pemenang Hadiah Nobel bidang ekonomi, Joseph Stiglitz, mendefinisikan globalisasi sebagai “integrasi lebih dekat antara negara dan penduduk dunia… melalui cara… penghancuran batas artifisial untuk arus barang, jasa, modal, pengetahuan dan penduduk secara lintas batas.” Thomas Friedman dalam bukunya, The World is Flat, menulis bahwa dunia kini menjadi sebuah tingkat lapangan permainan.
Apa arti itu semua bagi lapangan pendidikan? Dengan bahasa mudah bisa dikatakan negara yang tidak menghasilkan lulusan tingkat dunia akan terjungkal di lapangan datar kompetisi –sebab di dunia yang datar, semua kompetitor memiliki peluang sama. Jadi siapa saja yang tak mampu meningkatkan kemampuan dalam kesempatan ini akan tertinggal di belakang. Lebih khusus lagi, peneliti pendidikan menemukan negara yang gagal membangun standar “pendidikan internasional”, secara negatif akan berpengaruh pada kondisi ekonomi, politik, dan masalah sosial dunia.
Seruan ini mengingatkan pentingnya melihat bagaimana standar pendidikan “internasional” di Indonesia; dan bagaimana setiap guru mempersiapkan muridnya untuk bersaing di dunia global secara kompetitif.
Pendidikan lokal pada semua tingkat masih jauh dari standar kompetitif global; termasuk juga di Indonesia. Laporan terakhir menunjukkan bahwa 4,5 juta lulusan pendidikan sekarang “masih menganggur.” Jumlah ini adalah lulusan sarjana dan diploma, termasuk lulusan SMA yang berasal dari pendidikan lokal. Para analisis menyebut ini masalah nasional karena rendahnya kemampuan guru dan kualitas belajar di Indonesia.
Maka tidak mengejutkan, dari sekitar 2,7 juta guru di negara ini, hanya 300.000 yang memiliki sertifikat mengajar. Para guru di Indonesia memiliki kendala berbagai macam termasuk minimnya pelatihan, rendahnya kualifikasi pendidikan, kecilnya gaji dan buruknya fasilitas pendukung. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah menyatakan akan menaikkan anggaran gaji guru sebesar Rp 50 triliun di tahun 2009; dan menaikkan gaji hingga 100 persen bagi beberapa guru. Meski demikian, kompensasi penambahan gaji ini sendiri tidak otomatis meningkatkan kualitas guru untuk mencapai standar internasional.
Keahlian dasar sangat dibutuhkan di pasar tenaga kerja Indonesia dan ekonomi global membutuhkan keahlian berpikir kritis, keahlian memecahkan persoalan, berpikir dalam gambaran besar, keahlian komunikasi dan sebuah sikap terus belajar seumur hidup.
Peneliti pendidikan seperti Bates (2002) dan Martimore (2001) mengajukan beberapa jalan bagaimana guru bisa menyiapkan dirinya sendiri dan muridnya untuk menghadapi globalisasi. Mereka menemukan bahwa aktivitas dan proyek berbasis pelajaran adalah vital bagi pembangunan kritis dan pemikir independen dalam rangka mengasah keahlian pemecahan masalah. Di negara maju, metode ini secara cepat menggantikan pendekatan tradisional yang berpusat pada pengajaran guru yang hanya menerapkan komunikasi satu arah. Variasi dalam cara dan teknik mengajar mulai meningkat, dan ini diikuti oleh perubahan kurikulum. Sebagai contoh, pengunaan komputer dan kemampuan melihat informasi dari internet membawa ke informasi dunia. Dengan internet, informasi yang sama dapat diakses oleh guru di New York atau seorang guru di Papua.
Para guru seharusnya menggunakan riset internet, untuk memperbarui bahan pengajaran, dan menemukan metode cara mengajar yang lebih baik dari seluruh lembaga di belahan dunia. Dengan jalan ini, para guru tidak harus tergantung pada pelatihan yang diadakan negara, namun dapat memperbaiki dan meningkatkan kemampuan diri secara otonom. Para siswa juga harus dilatih mencari pengetahuan secara independen dan memiliki sebuah sikap belajar terus-menerus, entah melalui internet atau sumber lain seperti buku, majalah, dan surat kabar. Terus belajar menjadi penting karena perubahan adalah satu-satunya kekuatan tetap dalam dunia global. Mereka yang gagal merubah diri hanya akan tertinggal di belakang atau keluar dari persaingan.
Para guru Indonesia secepatnya harus menerima kenyataan ini suka atau tidak, mereka akan dinilai oleh standar internasional dan akan dibandingkan dengan guru di seluruh dunia –lewat pemerintah, perusahaan multinasional, investor, orang tua dan siswa.
Jika guru Indonesia gagal memenuhi standar dunia, perusahaan multinasional akan memilih sumber daya dari mana pun untuk menutupi kekurangan pekerja kompeten; investor akan meragukan pemimpin masa depan bangsa; orang tua akan kecewa dan siswa berbakat akan memilih belajar di luar negeri. Saat Indonesia merayakan Hari Guru Nasional, kutipan Henri Brooks berikut penting direnungkan: “ seorang guru adalah keabadian; dia tak dapat memberitahu kapan pengaruhnya berhenti “ Dalam globalisasi dunia, pengaruh guru di Indonesia amat besar pengaruhnya untuk kesuksesan bangsa. Diharapkan, suaru hari nanti, guru dan lulusan Indonesia akan memiliki kekuatan untuk diakui dalam percaturan globalisasi dunia.
Disadur dari makalah Kenneth Cock, Direktur Sampoerna Foundation Teacher Institute (SF TI) dengan judul “The Challenges of Globalization for Indonesian Teachers.”.
0 komentar:
Posting Komentar