Obama Dilantik, Koq Kita Yang Ribut
Barack Obama telah resmi menjadi presiden Amerika Serikat ke-44 setelah diambil sumpahnya oleh Ketua Mahkamah Agung John Roberts di the National Mall, Washington, Selasa (20/1). Tak hanya upacara pelantikannya yang luar biasa yang dihadiri jutaan orang. Seluruh dunia, termasuk kita yang di Indonesia juga ikut heboh. Bayangkan hampir seluruh stasiun televisi di Indonesia menyiarkan secara langsung acara pelantikan plus pidato politik pertama Obama plus dibumbui dengan dialog-dialog, diterjemahkan langsung, dan ada yang menerjemahkan lewat teks meskipun sepotong-sepotong. Koq kita ikut-ikut ribut? Apa Presiden SBY tidak tersinggung?
Seperti yang Saya duga, seperti para pendahulunya Obama tidak berani melakukan kritik terhadap Israel. Obama memang menyebut akan menjalin hubungan baru yang lebih baik dengan umat Muslim. Ia juga berjanji akan menarik pasukan dari Afganistan dan Irak. Serta menyatakan akan memerangi terorisme dan akan segera menutup penjara konsentrasi Guantanamo, di Kuba.
Namun, ia tidak menyingung sama sekali mengenai kebijakan AS atas krisis kemanusiaan di Gaza, Palestina, yang terjadi akibat agresi Israel. Padahal, seluruh dunia telah menantikan langkah yang akan diambil negara Adidaya itu terhadap sekutu terdekatnya Israel di bawah kepemimpinan presiden kulit hitam pertama AS.
Berbeda dengan para pendahulunya yang mengisi pidato politik pertamanya dengan retorika yang muluk-muluk. Pidato Obama adalah kesederhanaan, spirit, dan sikap saling menghargai. Memang hanya dengan ‘senjata’ seperti itulah Obama dapat mengembalikan Amerika sebagai pemimpin dunia.
Berbeda dengan Bush yang kerap mengedepankan moncong senjata dan rudal untuk menguasai dunia, Obama akan mencoba membawa Amerika memasuki babak baru sebagai negara adikuasa yang bisa merangkul semua negara di dunia melalui kewibawaan dan saling menghormati.
Obama yakin hanya dengan sikap itulah Amerika dapat menjadi pemimpin dunia lagi, karena bagaimanapun dengan kekuatan ekonomi, persenjataan dan teknologi canggihnya, tapi tanpa dilandasi oleh spirit of America yang menampung umat manusia dari semua golongan, semua yang dimiliki itu akan sia-sia karena Amerika hanyalah akan menjadi raksasa yang terkucil.
Itu tercermin dari pidato Obama seusai diambil sumpahnya sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat. Dengan tangan kiri diletakkan di atas Injil yang pernah digunakan mantan presiden Abraham Lincoln saat dilantik sebagai presiden AS ke-16, di hadapan jutaan rakyat Amerika yang menyaksikan peristiwa bersejarah itu, Obama ingin melanjutkan cita-cita Martin Luther King Jr. tentang kesetaraan ras.
Semangat itu pula yang akan melandasinya dalam menjalankan kebijakan memimpin Amerika dan dunia. Presiden berusia 47 tahun itu juga mengatakan bahwa Amerika akan menjadi teman bagi semua negara. Ia juga akan berupaya memperbaiki hubungan Amerika dengan negara-negara Islam, yang belakangan semakin memburuk menyusul serangan teroris pada 11 September 2001 lalu.
Namun, Amerika adalah Amerika dan Obama tetaplah pemimpin sebuah negara super kuat. Jadi, meskipun Amerika di bawah Obama adalah Amerika yang lembut, tapi Obama tidak akan membiarkan negara-negara yang berusaha menyerang Paman Sam. Ia akan menyerang balik negara itu dengan kekuatan Amerika.
Pernyataan itu sebagai penegasan bahwa tudingan sebagian kalangan bahwa Obama adalah presiden yang lembek adalah salah besar. Obama adalah tetap seorang pemimpin negara adikuasa yang tidak akan rela negaranya diganggu negara lain.
Tetapi Amerika di bawah Obama akan menjadi Amerika yang baru, yaitu Amerika yang kuat tetapi tetap bersahabat. Hal inilah yang ia sampaikan kepada rakyat Amerika melalui pidato pelantikannya. Bahkan saat memulai pidatonya, suami Michelle itu dengan rendah hati meminta rakyat Amerika untuk bangkit mengatasi segala permasalahan yang menjerat perekonomian terbesar dunia itu. Karena hanya dengan kerja keras dan bahu membahu cita-cita Amerika baru itu akan terwujud.
Berbeda degan pidato pelantikan presiden yang biasanya penuh ‘bunga-bunga’ dan janji, pidato Obama ini lebih tercermin sebagai ajakan kepada rakyat Amerika untuk bangkit kembali, untuk bersemangat lagi, karena ia sudah menyiapkan segalanya untuk mendukung kerja keras dan semangat rakyatnya.
“Hari ini saya mengatakan kepada Anda semua bahwa tantangan yang kita hadapi adalah nyata. Tantangan itu serius dan jumlahnya banyak. Tantangan itu tak mudah diatasi atau diselesaikan dalam waktu singkat. Tapi ini adalah bangsa Amerika – mereka akan dapat mengatasi tantangan itu semua,” kata Obama yang disambut teriakan Yes We Can, Yes We Can.
Memang benar, pidatonya itu jauh dari kesan pidato politik yang biasanya hanya penuh retorika. Boleh dibilang pidato Obama itu bukan sebagai pidato, tetapi lebih sebagai permohonan atau ajakan kepada rakyatnya bahwa Amerika kini menghadapi masalah yang begitu besar dan sulit, sehingga tanpa dukungan dari seluruh rakyat Amerika, perubahan yang selalu didengungkan saat pemilu lalu hanyalah omong kosong belaka. Mengapa itu dilakukan?
Ajakan itu dilakukan karena Obama sendiri telah menyiapkan amunisinya yang siap untuk digunakan, yaitu tim ekonomi yang kuat dan paket stimulus maha besar senilai hampir US$ 1 triliun, yang cukup untuk menciptakan 4 juta lapangan pekerjaan melalui pembangunan sektor infrastruktur. Sekarang tergantung pada rakyat Amerika sendiri, apakah mereka memang ingin berubah. Kalau memang ingin berubah, mereka cuma butuh kerja keras dan bergotong royong, karena Obama telah menyiapkan segalanya bagi rakyatnya demi mengembalikan Paman Sam sebagai pemimpin dunia dan bukan polisi dunia.
“Pertanyaan yang kita ajukan saat ini bukanlah apakah pemerintahan kita terlalu besar atau terlalu kecil, tapi bagaimana pemerintahan itu bekerja,” ujar Obama. Dari semua itu, kita hanya berharap munculnya Amerika baru yang menjadi sabahat bagi semua.
Mampukah Obama memenuhi janji-janjinya itu? Bagi kita memang tidak penting yang jelas Amerika tetap Amerika, sebuah negara yang sebenarnya bisa disebut predator. Sebuah negara yang menyebut dirinya sebagai polisi dunia, membersihkan kejahatan yang menurut mereka kejahatan tapi sebenarnya bukan sebuah kejahatan bagi negara lain. Kalau tidak cocok dengan Amerika, maka semua tidak benar. Itulah Amerika, kita tidak perlu bangga dengan Obama yang pernah sempat nunut hidup di Jakarta. (*).
0 komentar:
Posting Komentar