Koalisi Partai dan Seni Berpolitik
Perolehan suara Partai Demoktrat (PD) di ajang Pileg 2009 tak dipisahkan dengan kuatnya figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dan PD pun semakin pede untuk menggolkan SBY sebagai RI-1 dengan menggandeng siapapun sebagai wakilnya. Masih kuatnya pesona SBY tak urung membuat keder PDI-P yang masih saja ingin mencalonkan Megawati untuk running pada Pilpres Juli mendatang.
Namun demikian bagi PDI-P demi masa depan partai, sudah selayaknya mereka tidak boleh gegabah kembali menghadapkan Megawati dengan SBY. PDI-P dan Megawati tentunya tak ingin kalah dua kali dalam gelanggang pilpres seperti pada 2004 lalu. Diakui atau tidak elektabilitas SBY masih lebih baik di bandingkan siapapun termasuk Megawati. Demi Megawati sudah seharusnya PDI-P berpikir ulang untuk kembali memajukan putri Bung Karno ini.
Untuk Partai Demokrat, yang tengah berada di atas angin adalah SBY, bukan partai tersebut. Dengan kata lain, PD sebenarnya tidak ada apa-apanya. Secara partai, Demokrat sebenarnya tidak determinan.
Perolehan suara Demokrat yang untuk sementara memimpin jauh, tak serta-merta menjadikannya sebagai penentu. SBY diyakini menjadi penentu akhir, apakah yang tadinya menjauh akan diterima kembali untuk mendekat. Yang jelas, partai-partai yang sudah mendekat tampak semakin rapat.
Partai Demokrat dan SBY tampaknya sudah sadar dengan kondisi ini karena itulah agar lebih aman PD pun tetap menerima uluran tangan partai lain untuk berkoalisi. Perolehan suara partai menunjukkan bagaimana sekarang ini para elit partai untuk bermain menjalankan strategi berpolitiknya agar tetap berada di lingkaran kekuasan atau kalau kalah lagi, tidak terlalu telak.
Peta koalisi seakan dibangun dari dua jalur, jalur Demokrat dan PDI Perjuangan. Demokrat tampaknya tak terlalu sulit menjalin mitra koalisinya untuk membangun jembatan emas (golden bridge). Aura cerah SBY mampu menarik partai-partai yang sudah menunjukkan gelagat menjauh untuk kembali mendekat. Partai Golkar, yang sebelumnya optimistis memimpin koalisi lain di luar PD, sekarang pun mulai ambil langkah mundur setapak untuk kembali merapat ke SBY. Salah satu alasannya, duet SBY-JK selama lima tahun terakhir ini sudah menunjukkan perkembangan yang baik bagi Indonesia.
Soetrisno Bachir yang sempat bertemu dengan Megawati dan Jusuf Kalla pun menunjukkan gelagat merapat ke PD. Mungkin yang agak berani adalah PKS, sebagai partai menengah namun bisa jadi penentu bandul pertarungan dua koalisi PKS berani mengancam untuk menarik diri dari koalisi PD bila SBY kembali bersanding dengan Golkar.
PKS yang mencoba menduetkan SBY dengan Hidayat Nur Wahid (HNW), merasa risih dengan gerakan Golkar yang mencoba untuk menyerobot pagar-pagar yang sudah dibangun PKS. Menurut Anis Matta, Sekjen PKS, bila PD menerima Golkar dinilai sebagai koalisi pragmatis yan hanya berpikir pada kekuasaan dan menang-kalah. Sebuah alasan yang sebenarnya terlalu mengada-ada karena di manapun yang namanya politik, ya berujung pada kekuasaan dan menang kalah.
Di kubu lain, koalisi yang dimotori PDI Perjuangan tampaknya bisa mendekatkan partai yang dibangun dua mantan jenderal. Wiranto, yang menjadi Ketua Umum Partai Hanura, selama ini diketahui tak menjalin komunikasi dengan Prabowo Subianto, yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Keduanya bertemu. Meski tak mengakui secara eksplisit, komunikasi politik yang dibangun bukan tak mungkin sebagai langkah membangun koalisi.
Pekan lalu, Ketua Dewan Pertimbangan PDI Perjuangan Taufik Kiemas bahkan sudah memastikan bahwa Hanura dan Gerindra berada di barisan koalisinya. Demi satu kepentingan, seteru pun bisa jadi kawan. Politik memang penuh liku-liku, politik itu sebenarnya sebuah seni seperti yang diungkapkan Hannah Arendt, politik adalah seni mengabdikan diri manusia untuk kebaikan manusia lainnya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar