Parpol, Pertarungan Kekuasan, Pertarungan Gagasan
Fakta survei tren empat sampai lima bulan terakhir menunjukkan, tiga partai politik menempati urutan teratas: Partai Demokrat, PDIP dan Golkar. Partai lain adalah papan tengah, termasuk parpol baru Gerindra dan Hanura. Partai Demokrat yang baru lahir lima tahun lalu praktis sekarang memimpin, mengalahkan parpol yang sudah berakar jauh ke dalam sejarah Indonesia. Termasuk mengalahkan PKB yang akarnya Nahdatul Ulama dan PAN yang akarnya Muhammadiyah –dua organisasi masyarakat sipil yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan.
Partai merupakan perwakilan dari masyarakat. Kalau betul Demokrat nomor satu artinya masyarakat Indonesia sudah semakin cair. Hal ini penting sebelum masuk ke peran gagasan.
Pemilu pertama di Indonesia dipersiapkan selama lima tahun terhitung sejak pengakuan resmi Belanda tahun 1949. Bung Hatta sebagai perdana menteri, membuat dekrit, partai–partai boleh berdiri. Ini tentu tidak mudah. Sekarang saja, tahun 2009, mengadakan pemilu masih berbelit: entah faktor KPU, peraturan dan surat suara.
Tahun 1955, butuh lima tahun untuk mempersiapkan pemilu. Semua orang bertanya-tanya, setelah Indonesia merdeka dan mendeklarasikan diri menjadi negeri yang demokratis, pemilunya seperti apa? Aspirasi politiknya seperti apa?
Nah, tahun 1955 merupakan ujian pertama. Saat itu belum ada yang bisa menganalisis, karena fakta-faktanya belum ada. Pada tahun 1955 hasil pemilu seperti ini: nomer satu PNI, nomer dua Masyumi, nomer tiga PKI.
Ini menunjukkan dari sejarah politik di Indonesia tidak ada partai politik yang berhasil mencapai suara 50 persen. Itu kenyataan pertama, bahwa tidak ada single majority. Masyarakat politik Indonesia adalah a fragmented society.
Lima besar partai pemenang pemilu 1955 adalah PNI, Masyumi, PKI, NU, PSII. Partai ini terbelah menjadi partai Islam (Masyumi, NU, dan PSII) dan partai sekuler (PNI dan PKI). Pada tahun 1955 pengamat politik sudah mengatakan bahwa rakyat Indonesia adalah masyarakat politik yang terfragmentasi, tidak ada kekuatan tunggal, dengan perolehan suara di bawah 30 persen.
Yang berbeda hanya pada jaman Suharto. Saat itu Golkar menang hingga 60-70 persen. Tapi hasil itu tidak melalui pemilu yang demokratis. Kalau melalui pemilu demokratis, inilah hasilnya. Tidak ada yang mencapai 50 persen. Kenyataannya adalah fragmentasi. Dan basis fragmentasi ini adalah politik aliran.
***
Politik aliran berada dalam pengertian yang satu sekuler dan yang lain Islamis. Adalah Clifford Geertz yang pertama kali meneliti fenomena ini. Ia meneliti di sebuah kota kecil di Jawa Tengah bernama Pare (1953-1955).
Ia menerbitkan sebuah buku dan banyak artikel yang kurang lebih mengisahkan bagaimana orang berkumpul, bagaimana orang menyampaikan aspirasi, bagaimana orang melihat identitas politiknya. Mereka terbagi dalam fragmentasi dan fondasinya adalah aliran, di mana agama jadi faktor yang sangat penting.
Politik Indonesia kurang lebih sama. Konsep ini benar karena memang kenyataan yang dicerminkan oleh konsep ini juga benar.
Aspirasi dasar dari kaum aliran Islam, misalnya Masyumi, NU dan PSII, adalah negara Islam. Negara Islam inilah yang menjadi isu utama perdebatan dalam parlemen dan konstituante hasil pemilu 1955 yang tak kunjung selesai.
Faktanya sekarang menunjukkan satu perubahan signifikan dalam peta politik. Kalau dulu tahun 1955 semua partai Islam meminta negara Islam, sekarang sudah tidak lagi. Kenapa orang begitu khawatir dengan PKS? Sebab orang menganggap PKS ini partai yang bagus, terorganisasi tapi aspirasinya meminta negara Islam. Tapi kenyataannya adalah tren negara Islam menurun. Satu unsur dalam politik aliran telah mencair.
Bagaimana dengan yang lainnya, apakah masyarakat Indonesia berubah? Dari data pemilu 1999 dan 2004, pengaruh agama dalam politik dalam pengertian tahun 1955 saat mereka meminta negara Islam, semakin berkurang.
***
Maka, menjadi penting memaknai proses ini untuk melihat bagaimana membaca masyarakat. Dalam satu hal, ada aspek positif karena telah terjadi pencairan politik aliran. Terutama bagi kaum sekuler ini adalah sebuah pertanda.
Lalu apa yang membedakan Golkar dan Partai Demokrat? Dari segi identitas, hampir tidak ada bedanya. Politisi Golkar dan PDIP juga perbedaannya hampir tidak ada. Nama partainya memang beda-beda, pimpinannya berbeda, satu Megawati satu SBY, tapi dari segi ekspresi politik keindonesiannya sama. Karena itu kita perlu melihat lebih dalam sedikit dari ekspresi identitas ini.
Inilah pentingnya peran gagasan atau ide. Apa yang sebenarnya mau diperjuangkan politisi PDIP, apa sebenarnya yang mau diperjuangkan politisi Golkar? Apa yang diperjuangkan oleh mereka tahun 1955, tahun 1999, 2004 dan 2009? Apa perbedaannya yang substantif dan apa yang berubah? Itulah yang memberi kita perspektif lebih dalam tentang politik.
Jangan lupa, partai dan demokrasi harus dilihat sebagai alat untuk mencapai Indonesia yang lebih baik. Pertanyaannya bagaimana kita ingin partai menjadi arena pertarungan gagasan. Bukan cuma arena pertarungan kekuasaan.
Bukan hanya partai dan politik tidak boleh menjadi tujuan, dia hanya boleh menjadi alat saja. Bukan hanya alat untuk mencapai kekuasaan, alat untuk kompetisi kekuasaan, tetapi juga alat untuk melaksanakan kompetisi gagasan. Dalam satu hal sudah bagus, gagasan tentang agama dan identitas dimenangkan oleh kaum yang lebih modern, tapi gagasan tentang ekonomi masih harus menunggu.
Mungkin saatnya perlu lima sampai 10 tahun lagi. Ya, pada tahun 2014-2019 partai-partai itu mungkin akan menjadi arena pertarungan gagasan. Mudah-mudahan dalam kondisi perpolitikan selanjutnya dalam kehidupan kepartaian terjadi kristalisasi gagasan. Dengan demikian, antara partai-partai itu jika berbicara tentang ekonomi atau konsep pembangunan, jelas perbedaannya. Dengan cara ini, pilihan kita terhadap partai politik menjadi lebih mudah.
Disarikan dari ceramah Rizal Mallarangeng, ”Parpol dan Konsolidasi Demokrasi: Peran Gagasan” pada Kursus Penyegaran Wartawan Freedom Institute X, 28 Februari 2009 di Bukit Talita Mountain Resort, Ciloto.
• VIVAnews
0 komentar:
Posting Komentar